Pro-Kontra RUU TNI: Didukung DPR, Dikritik Akademisi dan Aktivis
Penulis: Akmal Fadhil
3 jam yang lalu | 0 views
Gedung DPR RI di Jakarta. (Istimewa)
Samarinda, Presisi.co – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 terkait Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin mendekati pengesahan. Sebanyak delapan fraksi di DPR RI telah menyatakan persetujuan, dan RUU ini segera dibawa ke rapat paripurna.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI sekaligus Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menegaskan bahwa pembahasan dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ia juga memastikan bahwa pembicaraan tahap II segera diselesaikan.
"Saya mohon persetujuan, apakah kita semua setuju untuk membawa RUU TNI ke pembicaraan tingkat II?" tanya Utut dalam rapat kerja Komisi I DPR bersama pemerintah, Rabu, 19 Maret 2025. Pernyataannya langsung disambut dengan persetujuan dari peserta rapat.
Fraksi PDI Perjuangan melalui juru bicaranya, Tubagus Hasanuddin, berharap RUU ini dapat memperkuat sinergi antara TNI dan komponen bangsa lainnya serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
"RUU ini memberikan kepastian hukum dalam penugasan prajurit di ranah sipil sebagai landasan jelas bagi prajurit yang bertugas di luar sektor pertahanan," ujarnya.
Sementara itu, Fraksi Partai Golkar yang diwakili oleh anggota Komisi I DPR, Gavriel Putranto Novanto, menilai revisi UU TNI sangat penting untuk meningkatkan profesionalisme serta memastikan supremasi sipil dalam tata kelola negara.
Pandangan serupa juga disampaikan Fraksi Partai Gerindra melalui perwakilannya, Sabam Rajagukguk. Ia menegaskan bahwa RUU TNI bertujuan memperjelas peran TNI dalam sistem pertahanan nasional berdasarkan prinsip profesionalisme, demokrasi, supremasi sipil, dan HAM.
"Revisi ini dilakukan melalui kajian mendalam agar batas usia pensiun yang diterapkan lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan," ujarnya.
Ia juga mengutip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XIX/2021 dan Nomor 6/PUU-XVI/2016 yang menegaskan bahwa batas usia jabatan merupakan kebijakan terbuka (open legal policy).
Meski didukung mayoritas fraksi DPR, revisi UU TNI mendapat kecaman dari 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi HAM Internasional (Human Rights Working Group - HRWG). Mereka menilai revisi ini bertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap berbagai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kewajiban hukum internasional di bidang HAM.
"DPR dan pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmennya di berbagai mekanisme HAM internasional," demikian pernyataan tertulis HRWG beberapa waktu lalu.
Menurut mereka, revisi UU TNI bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Salah satu pasal yang disoroti adalah Pasal 65 UU TNI yang tetap mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer dalam penyelesaian kasus HAM.
Selain kritik dari masyarakat sipil, revisi UU TNI juga mendapat sorotan dari kalangan akademisi. Herdiansyah Hamzah, dosen Universitas Mulawarman sekaligus anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS), menilai bahwa pembahasan revisi ini dilakukan secara tergesa-gesa.
"RUU TNI bahkan tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025, tetapi pembahasannya terus dikejar," ujarnya saat dihubungi, Senin, 17 Maret 2025.
Herdiansyah juga menilai bahwa revisi UU ini sarat kepentingan politik kekuasaan, dengan indikasi kuat bahwa DPR mengakomodasi pasal-pasal yang berpotensi menghidupkan kembali konsep dwifungsi TNI. (*)