Pengamat Hukum Unmul Beri Peringatan Keras Soal Dua Usulan MYC dari Pemprov Kaltim
Penulis: Redaksi Presisi
Senin, 16 November 2020 | 1.208 views
Kaltim, Presisi.co – Dua usulan Multi Years Contract (MYC) yakni pembangunan jalan layang atau flyover rapak di Kota Balikpapan dan Pembangunan RSUD Abdul Wahab Sjahranie, menarik perhatian sejumlah pihak.
Satu diantaranya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah yang karib disapa Castro. Ia menilai, dua usulan MYC yang hingga kini menghambat pembahasan ABPD 2021 itu, terkesan dipaksakan dan berkonsekuensi melawan hukum.
"Proyek MYC tidak boleh asal main diselundupkan begitu. Apalagi dengan nilai anggaran yang cukup besar, ditambah belum adanya hasil kajian yang memadai, maka memaksakan proyek MYC macam itu, berpotensi melahirkan perbuatan melawan hukum yang mengarah kepada tindak pidana korupsi," kata Castro, Minggu (15/11/2020) kemarin seperti yang dilansir dari Tribunkaltim.co.
Secara historis, lanjut Castro, Kaltim memiliki catatan buruk terkait rentannya proyek MYC dengan gratfikasi. Terlebih, jika dua usulan MYC ini, disetujui tanpa perencanaan yang matang dan tertutup oleh pengawasan publilk.
"Beberapa waktu lalu, anggota-anggota DPRD Kaltim sempat diterpa isu gratifikasi Rp 8 miliar terkait proyek MYC. Kendatipun dugaan kasus tersebut urung diproses secara hukum, namun bukan berarti tidak ada masalah dalam perkara tersebut," sindirnya.
Ia melanjutkan, jika kemudian isu penyelundupan proyek MYC ini mencuat ke publik, dinilainya proses yang berjalan benar memiliki masalah yang harus diakhiri. Sebab, katanya lagi jika usulan MYC ini dipaksakan, tanpa melalui kajian yang layak dan memada, maka dapat dipastikan berkonsekuensi melawan hukum.
“Jadi tinggal melacak, siapa sesungguhnya pihak yang memaksakan atau berencana menyelundupkan proyek MYC tersebut? Apakah ada dugaan kuat perbuatan melawan hukum menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi? Ini yang mesti diawasi oleh publik, termasuk harus dipantau oleh aparat penegak hukum," ungkap Castro menegaskan.
Dugaan gratifikasi yang dimaksud Castro ini, sebelumnya pernah diungkap Tribun Kaltim Online. Dalam sajian berita Tribunkaltim.co, indikasi kuat adanya dugaan gratifikasi dari proyek fisik itu, berdasarkan seorang anggota DPRD Kaltim pernah membuat surat laporan yang ditujukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, surat laporan yang telah ditandatangani tanggal 27 Maret 2019, urung disampaikan ke lembaga anti rasuah.
Dalam surat itu, tertulis perihal atau pemberitahuan Diduga Menerima SUAP. Surat tersebut ditujukan ke KPK dengan menjelaskan kronologi peristiwa.
Disebutkan, bahwa dalam kurun waktu tahun 2018-2019 di Wilayah Hukum Kota Samarinda, Provinsi Kaltim, sesuai informasi yang berkembang dalam internal Dewan (DPRD Provinsi Kaltim) di Jalan Teuku Umar, Kota Samarinda.
Dinas PUPR Provinsi Kaltim, kabarnya telah memberikan uang tunai yang jumlahnya sebesar Rp 8.000.000.000,00 (Delapan Miliar Rupiah) kepada oknum anggota DPRD Prov. Kaltim.
Dalam penerimaan tersebut disepakati bersama berupa DP (down payment). Kekurangannya diperjanjikan akan diserahkam kemudian.
Bahwa pemberian uang sebagaimana dimaksud pada angka point 1 tersebut diatas, diduga kuat diterima langsung oleh oknum anggota DPRD Kaltim. Para penerima, dilaporkan mendalilkan uang tersebut untuk dibagikan kepada seluruh anggota Dewan yang berjumlah 55 anggota termasuk para penerima suap.
Lembaga Penyelidikan dan Pengawasan Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (LP3KRI) secara resmi melaporkan ke Kejati Kaltim, Jumat (31/5/2019).
Surat yang ditujukan Kepala Kejati Kaltim, melalui surat bernomor : 083/ DPP/LPPPK-RI /V/2019. Perihal Dugaan Gratifikasi Anggota DPRD Kaltim.
Beberapa dokumen yang diserahkan LP3KRI antara lain, sejumlah data proyek multiyears contract (MYC) dan surat kabar harian Tribun Kaltim. Staf Intelijen Kejati Kaltim, Wahyu menerima laporan dari LP3KRI.
Ketua LP3RI Sukri Ummi mengatakan, laporan resmi ini harus segera ditindaklanjuti. Ia berharap laporan ini bisa menggali lebih dalam lagi untuk menelusuri dengan meminta keterangan sejumlah pihak-pihak terkait.
"Informasi yang kami dapat, diduga lebih dari enam anggota yang menerima fee," tutur Sukri. "Itu sejak tahun 2015 sampai 2018 dan 2019," lanjut Sukri, usai meyerahkan laporan resmi ke Kejati Kalimantan Timur.