Media Sosial Diramaikan dengan Kemunculan Akun Mahasiswa Cantik-Ganteng dari Kampus Ternama di Kaltim
Penulis: Rafika
4 jam yang lalu | 1 views
Beberapa akun yang menampilkan konten mahasiswa cantik-ganteng dari kampus-kampus ternama di Kalimantan Timur. (Sumber foto: Instagram @sambaliung.corner)
Presisi.co – Dalam beberapa hari terakhir ini, jagat media sosial di Kalimantan Timur diramaikan oleh kemunculan akun-akun TikTok berisi konten paras mahasiswa yang dinilai memiliki daya tarik secara visual. Sebut saja @unmulganteng, @unmulcantik, @polnes.cantik, @umktcantik, @unikartacantik.
Konten yang dibagikan umumnya menampilkan potret mahasiswa dengan latar musik populer. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru, melainkan mengikuti tren serupa yang sebelumnya sudah lebih dulu ramai di berbagai kampus besar di Pulau Jawa.
Kemunculan akun-akun tersebut pun memunculkan beragam reaksi. Sebagian menilai kehadiran akun-akun tersebut untuk “seru-seruan.” Namun, tak sedikit pula yang menganggapnya bermasalah karena dinilai mengobjektifikasi mahasiswa dan tidak mencerminkan nilai-nilai akademik serta etika kampus.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Johantan Alfando, menjelaskan bahwa fenomena akun-akun bertema daya tarik visual ini dapat dibaca menggunakan teori representasi dalam ilmu komunikasi.
Ia memaparkan bahwa media, termasuk media sosial, sebenarnya tidak hanya berfungsi sebagai cermin yang memantulkan realitas, tetapi juga membentuk dan mengonstruksi realitas baru sesuai dengan logika dan nilai yang diusungnya.
“Jadi akun-akun tersebut merepresentasikan mahasiswa sebagai objek visual yang bernilai karena daya tarik dari fisiknya, bukan dari kapasitas intelektualnya,” jelasnya kepada Presisi.co pada Kamis, 23 Oktober 2025.
Representasi semacam itu secara tidak langsung membentuk cara pandang baru di kalangan mahasiswa, di mana mereka yang berparas rupawan dianggap lebih menonjol dibandingkan yang berprestasi secara intelektual.
“Saya sebagai akademisi melihat ini berpotensi membuat pergeseran nilai nantinya. Jadi sebagai sebagai mahasiswa, dia tidak mengejar prestasi akademiknya tapi bagaimana dia mengumbar kecantikannya atau kegantengannya,” jelas pria yang akrab disapa Jo ini.
Johantan menjelaskan bahwa kemunculan fenomena ini tidak lepas dari peran media sosial yang membuat segala bentuk konten menjadi mudah terekspos. Ketika sebuah unggahan menampilkan visual yang dianggap menarik, algoritma secara otomatis akan merekomendasikannya kepada lebih banyak pengguna.
“Karena konten-kontennya menampilkan visual menarik, maka itu akan disuggest oleh algoritma media sosial tertentu, sehingga akhirnya mudah viral,” jelasnya.
Pola semacam inilah, menurutnya, yang perlahan menggeser orientasi mahasiswa dari mengejar prestasi akademik menuju pencarian hiburan dan validasi di dunia maya.
Menurut Johantan, hal yang perlu diwaspadai dari kemunculan akun-akun tersebut adalah adanya muatan ekonomi dan dorongan mencari keuntungan yang tak bisa diabaikan.
“Di sini bahwasanya ada sistem digital yang memperkuat pola patriarki dan kapitalistik media sosial tanpa disadari, sehingga bisa mendorong konten kreator untuk memburu keuntungan,” paparnya.
Kemunculan akun-akun semacam itu juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan etika bermedia sosial.
Johantan menilai bahwa pengelola akun seperti ini sering kali bertindak sebagai aggregator, yaitu pihak yang hanya mengumpulkan dan menyebarkan foto. Namun, tidak mengantongi izin dari pemilik foto bersangkutan.
“Kalau secara konteks etika, jelas melanggar jika pengelola akun tidak meminta izin kepada pemilik foto yang bersangkutan. Akun-akun tersebut seharusnya tidak menjadikan sesuatu sebagai objek tontonan tanpa izin pemilik foto,” jelasnya.
Ia juga menyoroti potensi pelanggaran etika lain ketika akun-akun tersebut menampilkan foto-foto mahasiswa dengan pakaian atau gaya yang dianggap tidak sesuai dengan norma akademik.
“Sebagai civitas akademika tentu mahasiswa memiliki kewajiban menjaga nama baik institusi.”
Lebih jauh lagi, fenomena ini berpotensi mendorong munculnya dampak sosial baru di kalangan mahasiswa, di mana pencarian validasi sosial menjadi lebih penting daripada kemampuan akademik.
“Kemudian melemahkan budaya berpikir kritis di lingkungan kampus, karena mereka akan mengejar bagaimana agar foto saya bisa masuk ke akun-akun tersebut,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Johantan menilai kemunculan akun yang menampilkan daya tarik visual mahasiswa tidak dapat dikategorikan sebagai hiburan semata.
“Karena bisa menggeser orientasi mahasiswa yang harusnya mengejar pencapaian intelektual, akhirnya bergeser pada pencapaian pencitraan visual,” pungkasnya.
Media Tempat Mahasiswa untuk Berekspresi
Sementara itu, dosen Pembangunan Sosial Universitas Mulawarman, Arifin Salam, menilai tidak ada yang salah dengan kemunculan akun-akun tersebut. Menurutnya, fenomena itu merupakan bagian dari tren di mana media memberi ruang bagi mahasiswa untuk berekspresi dan menampilkan diri.
“Saya kira itu bagian dari ekspresi diri. Selama kontennya masih dalam batas-batas normal, saya tidak melihat ada masalah,” ujarnya.
Ia menambahkan, akun-akun semacam itu bahkan bisa menjadi media untuk mempromosikan hal-hal yang berkaitan dengan kampus.
“Saya kira itu malah bisa menjadi media sarana promosi hal-hal yang berkaitan dengan kampus.”
Namun, Arifin menekankan adanya batasan. Menurutnya, baru muncul masalah jika konten yang diunggah mengarah ke asusila atau meremehkan nama baik institusi.
“Selama hanya menampilkan foto, itu tidak ada masalah. Dunia aplikasi sekarang memang tidak bisa dibatasi dalam konteks merepresentasikan kampus atau merusak citra,” jelasnya.
Selain itu, yang perlu menjadi perhatian, kata Arifin, adalah komentar-komentar negatif dari penonton. “Penonton inilah yang harus difilter atau diframing dengan baik.”
Terakhir, Arifin menilai, akun-akun semacam itu akan lebih baik jika menampilkan foto-foto mahasiswa saat mengikuti kegiatan kampus.
“Misalnya foto cantik di seminar, lokakarya, ujian, wisuda. Isi kontennya jadi lebih bagus,” tutupnya. (*)