search

Berita

Kematian Prada LuckyPrada Lucky Namo Serma Christian NamoKasus Prada Lucky

Tragedi Kematian Prada Lucky dan Gugatan Sang Ayah Menuntut Keadilan

Penulis: Akmal Fadhil
1 hari yang lalu | 1.050 views
Tragedi Kematian Prada Lucky dan Gugatan Sang Ayah Menuntut Keadilan
Foto kolase Prada Lucky Namo (Kiri) dan Sang Ayah Serma Christian Namo. (Istimewa)

Samarinda, Presisi.co - Langit siang di Bandara El Tari, Kupang, tampak cerah tapi tidak untuk seorang pria berseragam TNI yang berdiri di ujung landasan.

Wajahnya sembab, langkahnya berat. Di hadapannya, sebuah peti jenazah turun perlahan dari lambung pesawat. Merah putih membalutnya, tanda kehormatan terakhir untuk prajurit muda yang gugur.

Ia adalah Serma Christian Namo, Ayah dari Prada Lucky Namo anak keduanya yang baru dua bulan mengabdi sebagai tentara.

Tapi hari itu, bukan prestasi atau kebanggaan yang dibawa pulang. Melainkan tubuh anaknya, kaku dan penuh luka lebam.

“Beta mau lihat tentara punya hebat! Hukuman cuma dua: pecat dan mati!,” teriak Serma Christian Namo, ayah Prada Lucky dilansir melalui Detik.com

Christian berdiri bukan sebagai bagian dari institusi. Hari itu, ia adalah seorang ayah yang berduka, marah, dan kecewa.

Suaranya menggema di lorong bandara, mengguncang keheningan. Ia tidak sedang bicara kepada atasan, rekan, atau siapa pun ia sedang bicara kepada negara.

Cerita Sang Anak yang Bangga Menjadi Tentara

Prada Lucky Namo baru 23 tahun. Lulusan pendidikan TNI pada Februari 2025, dan dilantik sebagai prajurit aktif di Rindam IX Udayana, Bali, pada Juni. Saat pelantikan, sang ibu hadir langsung. Matanya berkaca-kaca melihat putranya berdiri tegak dalam seragam hijau lumut.

Sepulang dari pelantikan, Lucky sempat menggelar syukuran sederhana di rumah keluarga di Kupang.

Hari itu penuh doa dan tawa. Tak satu pun dari mereka menyangka, itu adalah hari terakhir melihat Lucky dalam keadaan sehat.

“Dia anak pendiam, tak pernah macam-macam. Baru dua bulan menikmati gajinya,” kenang Rafael Davids, sang paman.

Kabar Buruk dari Nagekeo

Awal Agustus 2025, kabar mengejutkan datang. Lucky dilarikan ke RSUD Aeramo di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Ia dalam kondisi kritis. Tidak sadarkan diri. Luka-luka di tubuhnya lebam, memar, dan bekas benturan bercerita lebih banyak dari apa pun yang bisa dijelaskan.

Sang ibu langsung terbang menyusul. Sang ayah tiba keesokan harinya, hanya untuk mendapati anaknya menghembuskan napas terakhir.

“Begitu saya sampai, Lucky sudah tidak buka mata lagi,” ucap Christian lirih.

Gugatan Sang Ayah Yang Seorang Prajurit

Sebagai anggota aktif TNI yang berdinas di Kodim 1627 Rote Ndao, Christian tak ragu melepas jabatan dan seragamnya jika itu harga yang harus dibayar untuk menuntut keadilan.

“Beta lepas tentara kalau perlu! Nyawa saya taruhan. Beta tuntut pakai hak saya sebagai manusia!” ujarnya lantang.

Kemarahan Christian bukan tanpa alasan. Tubuh Lucky menunjukkan tanda-tanda penyiksaan. Menurut informasi yang diterima keluarga, Lucky diduga dipukuli oleh belasan senior di kesatuannya, Teritorial Pembangunan 834 Wakanga Mere, NTT.

Polisi Militer TNI telah menahan empat prajurit yang diduga terlibat dalam penganiayaan. Total 24 orang diperiksa, baik sebagai saksi maupun terduga pelaku.

Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menyatakan bahwa penyelidikan akan berjalan transparan dan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.

Namun bagi keluarga Lucky, transparansi saja tidak cukup. Yang mereka minta adalah keadilan yang nyata dan hukuman setimpal. Bagi Christian, kehilangan anak bukan sekadar musibah, tapi sebuah peristiwa yang harus dibayar dengan tindakan, bukan pernyataan.

Mimpi Sang Ibu, Firman dari Langit

Beberapa hari sebelum meninggal, ibu Lucky bermimpi anaknya datang ke rumah. Wajahnya pucat, diam. Firasat buruk menyelinap. Ia pun langsung pergi ke Nagekeo. Tapi takdir sudah lebih dulu menjemput.

Kini, yang tersisa hanyalah foto pelantikan terakhir Lucky. Seragam yang baru dikenakannya selama dua bulan kini tergantung di dinding rumah, tak lagi memiliki tubuh untuk memakainya.

Prada Lucky Namo seharusnya baru memulai. Ia belum sempat ditugaskan ke medan operasi, belum sempat melangkah ke barak lain, belum sempat membuat cerita sebagai prajurit.

Namun sistem yang harusnya melatihnya justru menguburnya lebih dulu.

“Jangan sampai anak-anak lain gugur seperti Lucky. Jangan biarkan kekerasan berjubah pelatihan terus hidup,” seru Christian.

Ini bukan sekadar cerita duka. Ini peringatan keras bagi sebuah institusi yang telah kehilangan arah jika membiarkan kekerasan tumbuh subur. Dan selama keadilan belum ditegakkan, suara Christian akan terus menggema.

“Ini bukan soal keadilan lagi. Ini soal nyawa anak saya," ucapnya lantang.

Suara Akademisi: Evaluasi Sistem, Hentikan Kekerasan

Duka keluarga Lucky menggugah banyak pihak, termasuk kalangan akademisi. Hendrik, dosen di Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, menilai peristiwa ini sebagai bukti kegagalan pembinaan mental dalam tubuh militer.

“Apapun alasannya, kekerasan dalam kehidupan militer dengan dalih pembinaan tidak dibenarkan,” tegasnya, 9 Agustus 2025 saat diwawancarai.

Ia menyerukan reformasi menyeluruh. Menurutnya, pembinaan harus berlandaskan prinsip profesionalisme dan kemanusiaan, bukan senioritas yang membabi buta.

“Korban bukan tewas di medan perang, tapi di dalam barak sendiri. Ini tragedi, bukan insiden,” tambahnya.

 

Baca Juga