Intimidasi Pers dan Kriminalisasi Sipil, KontraS Ingatkan Bahaya Civil Phobia
Penulis: Akmal Fadhil
Jumat, 08 Agustus 2025 | 187 views
Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina. (Presisi.co/Akmal)
Samarinda, Presisi.co – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai praktik intimidasi terhadap jurnalis dan penyempitan ruang kebebasan sipil merupakan bentuk civil phobia, yakni ketakutan negara terhadap masyarakat sipil yang kritis.
Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina, menyebutkan bahwa tren pembatasan kebebasan sipil dan tekanan terhadap media bukan hanya terjadi di daerah, melainkan mencerminkan situasi nasional.
“Pemerintah saat ini sangat anti terhadap kebebasan masyarakat sipil. Bahkan ruang berekspresi dan kebebasan pers makin dibatasi,” ujarnya saat dimintai keterangan, Jumat 8 Agustus 2025z
Jane menyoroti bahwa upaya pembungkaman kini tidak lagi bersifat fisik seperti di masa lalu, melainkan hadir dalam bentuk kriminalisasi melalui pasal-pasal karet, terutama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan potensi ancaman dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
“Kalau dulu pembungkamannya lewat penculikan atau kekerasan, sekarang diganti dengan jerat hukum. Sama bahayanya,” tegasnya.
KontraS juga mengkritisi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai berpotensi mempersempit ruang kritik. Menurut Jane, hal ini merupakan pola lama yang kembali digunakan rezim saat ini.
“Polanya seperti era Orde Baru, di mana hanya narasi negara yang sah dan kritik masyarakat dibungkam,” tambahnya.
Salah satu insiden yang disoroti KontraS adalah teror terhadap redaksi Tempo dengan pengiriman kepala babi, yang disebut Jane sebagai bentuk nyata ancaman terhadap kebebasan pers.
Ia menyebut praktik serupa pernah terjadi pada masa Orde Baru dengan cara yang lebih ekstrem.
“Intimidasi terhadap media tidak boleh dibiarkan karena ini bertentangan dengan prinsip demokrasi,” kata Jane.
Senada dengan KontraS, Sumarsih, penggagas Aksi Kamisan dan ibu dari korban Tragedi Semanggi I, juga menyampaikan keprihatinan terhadap makin sempitnya ruang jurnalistik.
“Pemerintah jangan takut dengan wartawan. Mereka adalah pembawa kebenaran yang seharusnya jadi pijakan kebijakan,” ujarnya.
KontraS didirikan pada 1998 sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil dalam mengungkap pelanggaran HAM.
Hingga kini, lembaga tersebut aktif memantau dan mengadvokasi kasus-kasus kekerasan serta penyalahgunaan kekuasaan. (*)