search

Hukum & Kriminal

Kejari SamarindaStefanoAturan Ganti RugiRestorative JusticePeraturan Jaksa Agung

Kejari Samarinda Jelaskan Aturan Ganti Rugi dalam Skema Restorative Justice

Penulis: Muhammad Riduan
Senin, 21 Juli 2025 | 277 views
Kejari Samarinda Jelaskan Aturan Ganti Rugi dalam Skema Restorative Justice
Kepala Subseksi Pra Penuntutan Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda, Stefano. (Presisi.co/Akmal)

Samarinda, Presisi.co - Penerapan keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dinilai sering kali mendapatkan tantangan di lapangan.

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Subseksi Pra Penuntutan Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda, Stefano yang menyebut bahwa tantangan terbesar berada pada aspek ganti rugi yang belum memiliki pengaturan spesifik dalam peraturan hukum yang lebih tinggi.

“Selama ini pedoman kami mengacu pada Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020. Itu menjadi landasan jaksa dalam menegakkan keadilan restoratif dan berperan sebagai fasilitator,” ungkapnya saat disambangi diruang kerjanya pada Senin 21 Juli 2025.

Namun dalam praktiknya, menurut Stefano, banyak hambatan yang dihadapi, terutama terkait kehadiran korban dalam proses mediasi dan kesepakatan ganti rugi.

“Kadang korban tidak mau hadir dalam proses RJ, padahal itu menjadi syarat utama karena harus ada penguatan atau persetujuan dari korban. Dalam beberapa kasus, korban sudah bersedia berdamai, tapi meminta syarat ganti rugi dalam jumlah besar yang tidak sebanding dengan kerugian sebenarnya,” jelasnya.

Ia mencontohkan kasus penganiayaan ringan, di mana korban mengalami luka-luka dan meminta ganti rugi melebihi biaya pengobatan.

Hal ini, menurutnya, kerap membuat pelaku keberatan dan akhirnya proses RJ gagal, sehingga kasus tetap berlanjut ke proses peradilan pada umumnya.

“Bahkan ada pelaku yang tidak mampu membayar, lalu justru mencari cara untuk mendapatkan uang, yang bisa berpotensi memunculkan tindak kejahatan baru,” ujarnya.

Ketidaktepatan mekanisme ganti rugi dalam RJ ini, menurutnya, menjadi salah satu kelemahan karena belum diatur secara rinci dalam regulasi yang mengikat di atas peraturan internal kejaksaan.

“Kalau ke depan ada pengaturan secara spesifik tentang minimal atau standar ganti rugi dalam RJ, tentu akan lebih mempermudah proses pelaksanaan. Karena saat ini, Perja itu hanya aturan internal. Kalau bicara hierarki peraturan perundang-undangan, perlu legitimasi hukum yang lebih tinggi,” tegasnya.

Ia berharap agar ada pembaruan regulasi di tingkat undang-undang atau peraturan pemerintah untuk memperkuat penerapan RJ di lapangan.

“Terutama dalam kasus-kasus ringan seperti pencurian, penganiayaan ringan, atau perselisihan antarwarga,” pungkasnya. (*)

Editor: Redaksi