MK Kabulkan Gugatan UU ITE, Kritik Pemerintah Kini Tak Bisa Dilaporkan Lagi?
Penulis: Rafika
6 jam yang lalu | 0 views
Gedung Mahkamah Konsitusi. (Ist)
Presisi.co -Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pasal terkait penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak berlaku bagi lembaga pemerintah, institusi, kelompok dengan identitas tertentu, maupun profesi dan jabatan.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Selasa (29/4/2025).
Dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai individu atau perseorangan, bukan lembaga, institusi, atau kelompok tertentu.
Pasal 27A UU ITE semula berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.”
Sedangkan Pasal 45 ayat (4) mengatur ancaman pidana bagi pelanggaran Pasal 27A, yakni pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.
MK menilai frasa “orang lain” dalam pasal tersebut tidak memiliki batasan yang jelas sehingga berpotensi disalahgunakan. Sementara dalam Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 yang akan berlaku mulai 2026, frasa “orang lain” merujuk pada korban pencemaran nama baik.
Merujuk pada Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023, sejatinya telah ditentukan pihak yang tidak bisa menjadi korban dari tindak pidana pencemaran nama baik, yaitu lembaga pemerintah atau sekelompok orang.
Di sisi lain, ketentuan Pasal 27A UU ITE juga berkaitan dengan Pasal 45 ayat (7) UU ITE yang menyatakan bahwa perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik tidak dapat dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.
Kepentingan umum tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 45 ayat (7) UU ITE, adalah dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan berdemokrasi seperti unjuk rasa atau kritik.
Menurut Mahkamah, dalam negara demokratis, kritik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang perlu dijamin, meskipun mengandung ketidaksetujuan terhadap suatu tindakan atau kebijakan.
Secara prinsip, Pasal 27A UU ITE dimaksudkan sebagai sarana pengawasan, koreksi, dan masukan atas persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan publik
Oleh karena itu, kritik yang bersifat membangun, terutama terhadap kebijakan pemerintah yang berdampak pada masyarakat luas, merupakan bagian penting dari mekanisme kontrol publik yang harus dilindungi dalam sistem negara hukum yang demokratis.
“Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, dalam penyelenggaraan pemerintahan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah.
Mahkamah juga menegaskan ketentuan pada Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (5) UU ITE merupakan delik aduan, artinya hanya bisa diproses secara hukum apabila ada pengaduan dari korban yang merasa nama baiknya diserang.
“Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ Pasal 27A UU ITE, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah individu atau perseorangan,” ucap Arief.
Oleh sebab itu, apabila objek dari dugaan pencemaran nama baik adalah lembaga pemerintah, institusi, kelompok tertentu, atau profesi tertentu, maka ketentuan Pasal 27A tidak dapat diterapkan.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh aktivis lingkungan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dari Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali).
Ia sebelumnya dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jepara karena konten video kritiknya terhadap kondisi tambak di Karimunjawa, tetapi kemudian dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang. (*)