search

Daerah

Aksi Masyarakat SipilKasus Muara KatePj Gubernur KaltimAksi di Kantor Gubernur

Lagi, Aksi Masyarakat Sipil Kaltim Desak Pj Gubernur dan Kepolisian Tuntaskan Kasus di Muara Kate

Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Kamis, 21 November 2024 | 225 views
Lagi, Aksi Masyarakat Sipil Kaltim Desak Pj Gubernur dan Kepolisian Tuntaskan Kasus di Muara Kate
Aksi Koalisi Masyarakat Sipil di depan Kantor Gubernur Kaltim pada Kamis, 21 November 2024. (Presisi.co/Gio)

Samarinda, Presisi.co – Ratusan massa dari Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Kaltim pada Kamis, 21 November 2024.

Aksi yang berlangsung dari pukul 14.00 WITA hingga pukul 18.00 WITA membawa demonstran datang ke Jalan Gajahmada untuk melakukan serangkaian orasi. Mereka membawa poster bertuliskan “Hentikan Teror di Muara Kate” dan “Negara Harus Hadir untuk Rakyat".

Kericuhan mulai muncul pada saat menunjukkan pukul sekitar 17.30 WITA. Awalnya, pada demonstran memaksa untuk memasuki halaman Kantor Gubernur Kaltim setelah membakar ban. Namun, dicegat oleh pihak kepolisian di gerbang masuk.

Terlihat empat orang mahasiswa yang berhasil masuk kedalam halaman kantor gubernur. Salah satu dari mahasiswa tersebut terpancing amarah sehingga memancing keributan dengan pihak kepolisian.

Setelah masalah antar mereka selesai, keempat mahasiswa tersebut ingin keluar untuk kembali melancarkan rangkaian aksi. Tetapi, pihak kepolisian justru menghalangi mereka keluar dan menyuruh untuk memanjat pagar saja.

Tidak terima, mahasiswa yang diluar pagar marah sampai ramai-ramai ingin menghancurkan gerbang pintu masuk tersebut. Untungnya, koordinator aksi tersebut berhasil mengkondisikan kericuhan yang terjadi.

Demonstrasi ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya yang digelar pada 18 November 2024, dengan tuntutan yang sama. Yakni, meminta pemerintah daerah dan aparat penegak hukum bertindak tegas menyelesaikan konflik di Dusun Muara Kate, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser.

Aksi ini membawa sejumlah tuntutan yang mendesak pencopotan Pj Gubernur Kaltim karena dianggap lalai menangani konflik masyarakat adat, pencopotan Kapolda Kaltim atas dugaan kelalaian dalam mengamankan situasi sehingga berujung pada kekerasan dan pencabutan izin perusahaan tambang yang dianggap melanggar hak masyarakat adat di wilayah konflik.

Fajrul Karnival, Humas aksi, menegaskan aksi kali ini juga dipicu oleh kekecewaan terhadap ketidakhadiran Penjabat (Pj) Gubernur Kaltim dan Sekda dalam aksi sebelumnya dan pada aksi pada hari ini.

Hal ini diinformasikan oleh perwakilan dari pemprov melalui Kepala Bidang Trantibumas Satpol PP Kaltim, Edwin Noviansyah Rachim saat menanggapi perwakilan dari para demonstran tersebut.

“Ini hari kerja, tapi Pj Gubernur dan Sekda tidak hadir untuk menemui kami. Tuntutan kami jelas. Copot Pj Gubernur, copot Kapolda, dan cabut izin perusahaan tambang yang terlibat di Paser,” tegas Fajrul.

Fajrul juga menyatakan, pihaknya ingin berdialog langsung dengan pemerintah daerah, tetapi justru merasa dilempar ke kementerian terkait.

“Kejadian di Muara Kate itu jelas kewenangan pemerintah daerah. Sudah ada nyawa yang melayang karena konflik ini. Kami mendesak pemerintah hadir, bukan terus melimpahkan tanggung jawab,” ujarnya.

Fajrul juga menyoroti kasus pembunuhan di Muara Kate yang diduga sebagai upaya teror terhadap warga yang memperjuangkan hak lingkungan.

“Pembunuhan ini adalah teror bagi teman-teman di Muara Kate yang berjuang melawan aktivitas tambang ilegal. Kami ingin keadilan yang seadil-adilnya bagi para korban,” katanya.

Ketegangan di Dusun Muara Kate mencuat setelah aktivitas tambang batu bara menggunakan jalan umum sebagai jalur pengangkutan. Puncaknya terjadi pada insiden 15 November 2024, yang menewaskan Rusel (60) dan melukai Anson (55). Sebelumnya, pada 26 Oktober 2024, Pendeta Veronika Fitriani tewas akibat kecelakaan yang melibatkan truk tambang di jalur hauling.

Warga juga telah melakukan berbagai upaya protes, termasuk memblokade jalan pada Desember 2023. Namun, perusahaan tambang tidak merespons, sementara aparat dinilai gagal melakukan langkah preventif meski potensi eskalasi sudah terdeteksi.

“Kami ingin keadilan ditegakkan. Ini bukan hanya kasus perdata, tapi juga pidana. Ada pembunuhan dan kecelakaan fatal yang jelas melibatkan perusahaan tambang. Pemerintah tidak boleh membiarkan ini terus terjadi,” tutup Fajrul (*)

Editor: Redaksi