search

Daerah

Pilgub KaltimMinoritasIntersexToleransiTeras Samarinda

Bicara Soal Pilgub Kaltim, Minoritas dan Intersex Satu Suara soal Toleransi

Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Jumat, 11 Oktober 2024 | 394 views
Bicara Soal Pilgub Kaltim, Minoritas dan Intersex Satu Suara soal Toleransi
#NgoPi-Kaltim seri 3 di Teras Samarinda. (Presisi.co/Gio)

Samarinda, Presisi.co - Gabungan Non-Governmental Organization (NGO) Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar #NgoPi-Kaltim seri 3 yang membicarakan posisi kaum minoritas di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Kaltim tahun 2024 ini.  di Teras Samarinda pada Sore Jumat, 11 Oktober 2024.

Diskusi yang berlangsung di Teras Samarinda ini bertujuan untuk memberikan ruang kepada seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Selama, ruang-ruang tersebut dapat dimanfaatkan secara baik.

Minoritas yang disebutkan adalah masyarakat yang beragama lain selain Islam. Yakni, umat Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.

“Gubernur dan wali kota adalah kepala daerah untuk seluruh agama yang ada di Kaltim. Bukan untuk satu agama saja,” ungkap Pendeta Hendra Kusuma sebagai salah satu narasumber dari #NgoPi-Kaltim seri 3.

Menurut Hendra, calon kepala daerah yang akan berkontestasi dalam Pilkada, tidak menyebutkan secara spesifik pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti apa dalam visi misinya.

Jika melihat visi misi dari kedua calon gubernur, keduanya masih belum ada program yang mencakup seluruh agama.

“Sebenernya sewaktu melihat visi misi, saya ada beri masukkan kepada salah satu timses pasangan calon. Gubernur itu seharusnya memprioritaskan semua agama di dalam program intinya, bukan sebagai program tambahan,” jelasnya.

Apalagi baru-baru ini ada permasalahan penolakan pembangunan gereja di Sungai Keledang oleh warga. Seharusnya, pemerintah harus memastikan keamanan dan kenyamanan agama minoritas dalam beribadah.

“Kalau berbicara sukit beribadah sebenarya tidak sulit, tapi bangun rumah ibadah yang sulit. Karena ibadah itu dilindungi undang-undang,” tutupnya.

Selain itu, masyarakat gender ketiga, atau yang biasa disebut kaum intersex diharapkan juga diberi ruang untuk memilih pasangan calon pilihannya.

Perlu diketahui, kaum intersex adalah definisi dari masyarakat yang memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan tipikal badan lelaki atau perempuan.

Menurut Willy Sam Hazes dari TehEs Project, kaum intersex seringkali mengalami penindasan bahkan penolakan dari masyarakat sosial. Hal tersebut dikarenakan kaum intersex dianggap tidak sesuai norma yang ada.

Padahal, kaum intersex juga memiliki hak-hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Mereka seharusnya, tetap bisa berkontribusi memberikan suaranya dalam kontestasi pilkada.

“Seharusnya masyarakat bisa membedakan antara orientasi sex dengan penyimpangan perilaku seksual itu menjadi dua hal yang berbeda,” ujar Sam.

Sam bilang, kaum-kaum intersex selalu dianggap aib keluarga, beban keluarga, dan lain halnya. Namun, menjelang pilkada, para pejabat terkadang memerlukan suara mereka untuk maju dalam berkontestasi politik.

“Simple-nya saja, teman-teman trans bahkan tidak bisa meraih pendidikan. Saat melakukan proses administrasi juga kami tidak bjsa tercatat. Gimana mau nyoblos kalau Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja tidak punya,” tegasnya.

Di sisi lain, Akademisi yang juga Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman, Safaranita Nur Effendi mengungkapkan, kedua topik diskusi #NgoPi-Kaltim seri 3 merupakan hal menarik untuk dibahas.

Nita, sapaan akrabnya, mencontohkan kalau di Makassar itu, para penjual makanan haram tidak di persekusi sekalipun oleh pemerintah. Bahkan, bagi masyarakat yang beragama Islam juga tidak mempermasalahkan hal tersebut.

“Pesan saya untuk kepala daerah Kaltim itu, bagaimana caranya membangun toleransi. Di Makassar saja bisa, masa di Kaltim tidak?,” seru Nita.

Nita mengakui, memang masih terdapat kaum atau oknum seagama dengan dirinya yang fanatik, dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa kita hidup bersama berbagai macam kalangan dengan keyakinan dan orientasi sex yang berbeda.

“Yang saya pelajari sebagai perempuan muslim, di agama kami pun diajarkan tidak ada pembeda walaupun kaum atau agamanya berbeda,” katanya.

Melalui diskusi tersebut, toleransi antar umat beragama dan penerimaan kaum yang berbeda, menjadi salah satu kunci untuk dapat memajukan Kaltim kedepannya. (*)