Ribut Ormas Keagamaan Dapat Jatah Kelola Tambang, Jokowi Tegaskan Ada Syarat Ketat
Penulis: Rafika
Jumat, 07 Juni 2024 | 580 views
Presisi.co - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan organisasi keagamaan (ormas) mengelola tambang menuai kontroversi. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aturan baru tersebut memberi izin kepada ormas keagamaan untuk mengelola usaha pertambangan. Secara detil, aturan itu tertuang dalam Pasal 83A yang membahas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas.
Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas dan organisasi keagamaan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Meski regulasi tersebut menyatakan ormas keagamaan mendapat prioritas mengelola tambang, Jokowi menegaskan ada sejumlah aturan ketat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
“Yang diberikan itu adalah sekali lagi badan-badan usaha yang ada di ormas, persyaratannya juga sangat ketat,” ungkap Jokowi di sela-sela kunjungan kerjanya di Kalimantan Timur, Rabu (5/6).
Lebih lanjut, eks Gubernur DKI Jakarta itu menuturkan yang mendapatkan izin kelola tambang adalah badan usaha dari ormas keagamaan tersebut. Ia mengatakan ormas biasanya memiliki badan usaha lain yang terfokus pada bisnis, dan bisnis yang dimaksud, termasuk usaha pertambangan.
“Baik itu diberikan kepada koperasi yang ada di ormas, maupun mungkin PT dan lain-lainnya. Jadi badan usahanya yang diberi (IUP), bukan ormasnya,” tambahnya.
Sarat Kepentingan Politik
Kebijakan pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan oleh Presiden Joko Widodo mendapat kritikan tajam dari pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi.
Fahmy menduga kebijakan ini lebih didorong oleh kepentingan politik ketimbang kepentingan ekonomi, dan merupakan upaya Jokowi untuk meninggalkan "warisan" yang baik di mata ormas-ormas keagamaan.
Ia menilai bahwa ormas keagamaan tidak memiliki kapabilitas dan dana yang memadai untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan.
“Dalam kondisi tersebut, dengan berbagai cara diperkirakan ormas keagamaan hanya akan berperan sebagai “broker” alias makelar dengan mengalihkan WIUPK kepada perusahaan tambang swasta,” ungkap Fahmy.
Lebih lanjut, Fahmy mengkhawatirkan bahwa ormas keagamaan akan terjerumus ke dalam dunia hitam pertambangan, mengingat sektor ini masih sarat dengan tindak pidana dan praktik ilegal.
Oleh karena itu, Fahmy mendesak pemerintah untuk membatalkan atau setidaknya merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan.
"Pemerintah sebaiknya membatalkan, paling tidak merevisi PP Nomor 25 Tahun 2024 karena lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya," tegas Fahmy.
Menyalahi UU
Sementara itu Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Fanny Tri Jambore, mengatakan kebijakan memberi IUP kepada ormas keagamaan jelas-jelas menyalahi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), yang mengatur bahwa pemberian IUP kepada badan usaha swasta harus melalui proses lelang, bukan dengan pemberian prioritas dari pemerintah.
Lebih lanjut, Fanny mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini akan memperparah kerusakan lingkungan di Indonesia. Ia mencontohkan kerusakan lingkungan akibat konsesi pertambangan batu bara yang mencapai hampir dua juta hektare di kawasan hutan.
"Sejauh ini, hampir lima juta hektare konsesi pertambangan batu bara di Indonesia, hampir dua juta hektare dari konsesi itu ada di dalam kawasan hutan, dan belum pernah ada upaya pemulihan lingkungan secara serius akibat pemberian izin-izin ini. Yang terjadi adalah semakin masifnya dampak kerusakan lingkungan akibat pemberian izin-izin tambang tersebut," ungkap Fanny.
Menurutnya, jika izin usaha pertambangan, khususnya di wilayah tambang batu bara, diserahkan kepada ormas maka kebijakan ini akan menjadi sebuah justifikasi dari pemerintah untuk melanjutkan proses perusakan lingkungan dengan berlindung di balik nama ormas-ormas tersebut.
“Kalau kemudian ormas-ormas ini hanya dijadikan bemper dari pembenaran pemberian izin tambang, dikhawatirkan bahwa kalau terjadi konflik sosial antara masyarakat yang merasa dirugikan dari kerusakan wilayah itu, yang kemudian mendapatkan nama buruk adalah ormas-ormas yang mendapat izin pada wilayah itu,” jelasnya.
Selain itu, Fanny menilai, ormas keagamaan tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan bisnis pertambangan, sehingga dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan.
"Ada kekhawatiran besar adanya penumpang gelap akan bermain di situ dan mereka akan mendapatkan keuntungan karena mereka tidak perlu mengajukan izin lagi, mereka tidak perlu mengikuti lelang, tapi mendapatkan turunan dari pemberian izin dari ormas-ormas ini. Kalau mereka juga masih menggunakan model bisnis tambang as usual yang rentan terhadap perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM, lagi-lagi bempernya adalah ormas-ormas yang mendapatkan izin-izin tambang ini," jelasnya.
Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa ormas keagamaan seharusnya kembali fokus pada fungsi utamanya, yaitu menyebarkan ajaran kebaikan dan misi sosial kepada masyarakat.
"Kenapa juga harus diberikan kepada ormas keagaman? Kan ormas-ormas ini tidak dibentuk untuk mengelola pertambangan. Mereka itu sudah punya visi dan misi, serta tujuan mulia untuk mengabarkan kebaikan, untuk kemudian membawa misi-misi sosial kepada masyarakat dan mereka dibentuk untuk itu," ujarnya.
"Kalau tiba-tiba pemerintah mengeluarkan satu bentuk program untuk mengajak mereka mengerjakan sesuatu yang bukan bidangnya, yang dikhawatirkan justru akan membawa dampak buruk, ini akan menjadi legacy buruk kepada organisasi yang sebenarnya dibentuk dengan niat baik," pungkas Fanny. (*)