Jurnalis Samarinda Tolak Revisi UU Penyiaran, Ancaman Terhadap Kebebasan Pers dan Demokrasi
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Rabu, 29 Mei 2024 | 782 views
Samarinda, Presisi.co – Gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang Penyiaran atau UU Penyiaran terus terjadi di penjuru Indonesia. Tak terkecuali di Kaltim.
Di Samarinda, kelompok jurnalis dari berbagai organisasi berunjuk rasa di Gedung DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Sungai Kunjang, Rabu (29/5/2024), sekitar pukul 10.00 WITA. Mereka menolak pasal-pasal bermasalah dalam revisi UU Penyiaran yang saat ini tengah digodok di DPR.
Revisi UU Penyiaran dinilai para demonstran mengancam kebebasan jurnalis melakukan pemberitaan. Serta membungkam kebebasan pers berekspresi di Indonesia, yang merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi.
Beberapa poin tuntunan dan penolakan yang disampaikan demonstran, di antaranya revisi UU Penyiaran akan menimbulkan tumpang tindih dengan regulasi lain. Sebab, revisi beleid tersebut memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengatur konten media, yang mengarah pada penyensoran dan pembungkaman terhadap kritik pemerintah.
Gabungan jurnalis yang berunjuk rasa memandang, draf revisi tersebut bakal bertentangan Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Revisi UU Penyiaran juga disebut akan membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media. Karena melarang penyajian eksklusif laporan jurnalistik investigatif. Sehingga pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan (watchdog).
Poin tuntutan lainnya, RUU Penyiaran merupakan bentuk ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia. Ini karena jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi– untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
“Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis,” tulis rilis pengunjuk rasa, yang mengatasnamakan Aliansi Kemerdekaan Pers Kaltim.
Koordinator Lapangan Aliansi Kemerdekaan Pers Kaltim, Ibrahim Yusuf mengaku kecewa terhadap anggota DPRD Kaltim yang tidak bisa mewadahi aspirasi mereka, terkait penolakan revisi UU Penyiaran tersebut.
“Kami kecewa kepada wakil rakyat yang tidak bersepakat dan tidak setuju untuk memfasilitasi kita dalam menolak revisi undang-undang penyiaran,” serunya.
Sementara itu, Sekretaris IJTI Kaltim, Andi Aso mengatakan, revisi UU Penyiaran adalah sebuah bentuk diskriminasi atau intimidasi yang dilakukan pemerintah terhadap jurnalis.
“Selaku jurnalis yang akan melakukan investigasi yang bisa membongkar kebohongan-kebohongan para pembohong dan koruptor, dengan tegas kami dari ikatan jurnalis televisi menolak revisi undang-undang penyiaran,” cetuss Aso.
Wakil Ketua Bidang Media Siber PWI Kaltim, Dirhanuddin menambahkan, jika undang-undang ini diterapkan, secara tidak langsung ada kepentingan dari politisi-politisi yang semakin membuat jurnalis ketar-ketir.
“Kalau undang-undang penyiaran ini hadir, dalam bentuk membatasi ruang kerja jurnalistik, tentu saja yang dirugikan adalah terbatasnya ruang informasi yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pada akhirnya perjuangan teman-teman jurnalistik ini sebenarnya bukan sekedar buat teman-teman jurnalis atau media saja, tapi justru untuk kepentingan publik,” tambahnya.
Ketua Aji Kota Samarinda, Noffiyatul Chalimah menegaskan, kalau seluruh insan pers sudah menentukan sikap soal revisi UU Penyiaran ini.
“Banyak teman-teman yang melakukan kerja-kerja liputan investigasi dan kalau misalnya ini diteruskan, ini akan mengancam kerja-kerja kita apalagi Kaltim ini luas. Maka dari itu, kami bersolidaritas dan kita melawan,” cakapnya. (*)