Pendapat Ahli Soal Longsor di Perumahan Keledang Mas Baru, Warga Terdampak Harus Direlokasi?
Penulis: Nelly Agustina
Rabu, 07 Juni 2023 | 1.103 views
Samarinda, Presisi.co – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Samarinda menggandeng Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur dari Jurusan Teknik Geologi untuk menganalisis sebab pasti terjadinya amblasnya tanah yang merusak sejumlah rumah di Perumahan Keledang Mas Baru belum lama ini.
Akademisi Teknik Geologi UMKT Syamsidar Sutan mengatakan bahwa kerjasama ini merupakan salah satu implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satunya tentang pemberdayaan masyarakat.
“Maka kami melakukan analisa dengan pengeboran tanah dan menganalisa baik secara geologi dan morfologi,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, dari sisi geologi terdapat patahan sesar minor yang mengakibatkan keluarnya mata air dan hal tersebut merupakan ciri-ciri akan terjadinya longsor.
“Selain itu juga crack atau tanah yang terbelah, dan juga terdapat tumbuhan yang mulai condong mengarah ke satu arah,” ungkapnya.
Terlebih kata Syamsidar harus dilihat dari gawir yang cukup terjal dan posisi ketinggian atau elevasi daerah tersebut dan untuk kemiringan lerengnya sudah mencapai 70 persen, terlebih dekat dengan pemukiman warga.
“Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, paling jelas waktu bencana gempa bumi di Palu memang terdapat tanah yang bergerak saat itu,” ungkapnya.
Jadi, Kata Syamsidar secara geologis daerah Sungai Keledang memiliki lekukan dari Sungai Mahakam, sehingga terdapat keluwesan batuan, namun menurutnya perlu penyelidikan lebih lanjut.
“Sedangkan Kota Samarinda termasuk bagian zona komplit karena lapisan batuannya tegak, dan kemiringannya sekitar 70 derajat,” ungkapnya.
Terkait keadaan tersebut Syamsidar katakan bahwa sebaiknya Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda dapat memperhatikan keadaan ini sebelum membangun atau mengambil kebijakan dalam pembangunan.
“Khususnya penanganan sungai yang harus sesuai, karena jika tidak sungai akan membentuk jalur baru,” ungkapnya.
Selain itu kata Syamsidar lapisan tanah di lokasi amblasan terdapat batuan lempung yang sifatnya meloloskan air, yang pada saat musim kemarau tiba akan membuat tanah menjadi terpecah-pecah.
“Sedangkan pada lapisan atas adalah batuan pasir yang tidak padat dapat di indikasi tanah ini menopang dengan tanah yang lebih padat dan terus bergerak,” ungkapnya.
Curah hujan kata Syamsidar juga berpotensi menyebabkan longsor pada jenis tanah di daerah amblasan, karena tidak menyimpan air tetapi meloloskan air.
“Jadi semua harus dihitung area mana yang menjadi pemukiman atau tidak, jadi harus ditentukan mana jalur air dan mana jalur yang dapat dijadikan pemukiman jangan sampai mengganggu jalur air,” ungkapnya.
Harusnya kata Syamsidar, pihak pengembang sedari awal memperhatikan soal AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang berkaitan dengan alamnya potensial untuk dibangun pemukiman atau tidak.
“Karena sebenarnya tidak seribet itu, sebaiknya memang dikaji kualitas tanah, udara dan keamanannya. Karena jika lahan sudah terbuka maka akan mudah terjadi erosi,” ungkapnya.
Samsyidar juga katakan bahwa sebenarnya analisisnya sifatnya sementara karena data yang didapat terbatas, galian tanah yang dapat dijangkau hanya 9,5 meter dan hanya bisa di identifikasi 4 meter dan sisanya batuan lempung yang sudah dipenuhi air.
“Karena sifat batuannya adalah pasir lepas, dan di lapisan sekitar 2-3 meter batuan lempungnya sudah mengembang, sehingga data tidak bisa diambil,” ungkapnya.
Lanjut dijelaskan dia, batuan lempung merupakan salah satu yang harus diantisipasi dalam pembangunan karena dapat menggerakkan lapisan bangunan bahkan dapat merobohkan bangunan.
“Seharusnya kita memperhatikan hal tersebut sebelum membuka pemukiman,” ungkapnya.
Terkait itu, pihaknya juga telah merekomendasikan agar warga terdampak dapat direlokasi. Termasuk memberikan tanda peringatan dini jika longsor akan terjadi. Pun demikian soal pembangunan drainase untuk mengalirkan air dan mengatur keluar airnya.
“Sesegera mungkin harus dilakukan langkah preventif seperti pemangkasan gunung yang menjadi beban lapisan tanah,” ungkapnya.
Selain itu kata Syamsidar dapat dilakukan pembangunan geo tekstil pada tanah agar air dapat terserap, walaupun tidak banyak tapi dapat mengurangi risiko longsor.
“Atau melakukan pembangunan pancang-pancang penahan longsor,” ungkapnya.
Adapun besaran biaya minimum pemangkasan gunung tersebut Rp 1,2 miliar dan tidak terlalu banyak memotong gunung tersebut.
“Kami sedang merancang dua langkah yang akan memangkas lahan hingga 30 persen,” sambungya.
Terakhir Syamsidar katakan bahwa akan melakukan pertemuan dengan Tim Ahli pemilik lahan yang terdapat gunung yaitu PT Sinar Mas dan akan berkoordinasi lebih lanjut tentang solusi yang terbaik.
“Kami akan koordinasikan lebih lanjut, karena sebenarnya juga dapat menjadi keuntungan bagi mereka, karena dapat analisa tanah sebelum melakukan pembangunan,” pungkasnya. (*)