search

Daerah

Pemkab KukarTaufiq HidayatGuru Honorer Muara WisGuru Menjadi Nelayan

Beratnya Jadi Guru Honorer di Pedalaman Kukar: Biaya Hidup Mahal, Jadi Nelayan untuk Cukupi Kebutuhan

Penulis: Naldi Ghifari
Rabu, 11 Agustus 2021 | 1.246 views
Beratnya Jadi Guru Honorer di Pedalaman Kukar: Biaya Hidup Mahal, Jadi Nelayan untuk Cukupi Kebutuhan
Taufiq Hidayat ketika mengajar agama Islam di Muara Wis. (dokumentasi pribadi)

Tenggarong, Presisi.co – Guru merupakan profesi yang sangat mulia. Tugas yang diemban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak setimpal dengan jerih payah yang didapatkan. Apalagi menjadi guru honorer di pedalaman Kutai Kartanegara. Biaya hidup mahal karena jauh dari akses perkotaan, ditambah lagi upah yang hanya cukup untuk hidup seperempat bulan dengan pas-pasan. Itulah gambaran kehidupan yang dihadapi Taufiq Hidayat.

Ia berprofesi sebagai guru di pedalaman Kukar. Tepatnya di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis. Taufiq memulai profesi sebagai guru agama sejak 2008 silam. Itu setelah ia menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, Kalimantan Selatan. Pada Agustus 2009, Taufik dipanggil untuk mengajar di SD 011 Muara Wis dengan upah Rp 250 ribu per bulan yang dibayar per triwulan melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS). "Saya mengajar pendidikan agama Islam," kata Taufiq.

Upah Rp 250 ribu per bulan tentu sangat tidak cukup untuk hidup. Apalagi saat itu ia sudah menjadi kepala keluarga. Kondisi itu membuatnya perlu mencari nafkah tambahan. Ia memutuskan menjadi nelayan sebagaimana mayoritas warga di sana mencari nafkah.

Istri Taufiq waktu itu turut menambah pemasukan dengan berjualan. Dengan ketabahannya terus mengabdi sebagai guru agama Islam, upah Taufiq mulai naik dan diangkat menjadi guru honorer THL dari Dinas Pendidikan Kukar. Sampai pada 2021, gajinya mencapai Rp 1,5 juta dengan insentif Rp 1,2 juta. Walaupun sudah meningkat, tetap saja pencairan insentif selalu telat.

Dengan gaji segitu, Taufiq mengaku masih belum cukup untuk tinggal di pedalaman Kukar. Sebab, selain membiayai kebutuhan pokok, biaya transportasi di sana juga cukup tinggi. Itu lantaran Desa Muara Enggelam berada di atas Danau Melintang. Sehingga transportasi mesti mengunakan kapal ketinting mesin ces. "Tidak adanya akses darat membuat harga sayur dan sembako jadi mahal," beber Taufik.

Makanya sampai sekarang Taufiq masih jadi nelayan. Ia tetap bersyukur atas pendapatannya sebagai guru honorer itu. Sebab ia sudah berniat ikut andil dalam dunia pendidikan. Walaupun kenyataannya jadi nelayan merupakan pilihan yang paling tepat untuk memenuhi kehidupan keluarganya.

Meski hidup dengan kondisi yang serba pas-pasan, Taufiq tetap bangga bisa menjadi guru honorer di pedalaman Kukar. Sebab yang ia lakukan ini adalah perjuangan untuk mencerdaskan bangsa. Terutama untuk warga Desa Muara Enggelam. Ia bertekad memerangi kebodohan dan ketertinggalan pengetahuan warga pedalaman di era teknologi seperti sekarang ini. "Anak-anak di sini biasanya punya dua kemungkinan saja. Yang berprestasi pasti jadi rebutan sekolah lain. Yang kurang berprestasi atau orangtuanya tidak punya biaya melanjutkan pendidikan, maka anak tersebut setelah tamat SMP akan ikut orangtua jadi nelayan," urai Taufiq.

Taufiq menyebut, jenjang Pendidikan di Desa Muara Enggelam hanya sampai SMP. Murid yang mau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi harus mencari di luar desa. Biasanya ke Kecamatan Muara Muntai, karena cukup dekat dari Desa Muara Enggelam daripada harus ke Kecamatan Muara Wis. (*)

Editor: Rizki