search

Daerah

Ganja di IndonesiaJeff SmithMahkamah KonstitusiPermohonan Legalisasi Ganja untuk MedisPenelitian Ganja di IndonesiaCerebral PalsyWorld Health OrganizationSinggih Tomi GumilangKoalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan

Tiga Ibu dari Anak Penderita Cerebral Palsy Berjuang Legalkan Ganja untuk Medis di MK

Penulis: Jeri Rahmadani
Jumat, 23 April 2021 | 970 views
Tiga Ibu dari Anak Penderita Cerebral Palsy Berjuang Legalkan Ganja untuk Medis di MK
Ilustrasi. (freepik)

Samarinda, Presisi.co – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui rekomendasi World Health Organization (WHO) mengeluarkan ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Artinya, ganja tidak disamakan dengan jenis narkotika golongan I yang memiliki ancaman risiko tertinggi. Beberapa negara di dunia mulai memanfaatkan ganja sebagai terapi medis. Sedangkan di Indonesia, masih sering ditemukan penangkapan kasus penyalahgunaan ganja di berita-berita. Terbaru, kasus artis Jeff Smith yang ditangkap dengan barang bukti ganja seberat 0,52 gram di Jakarta Barat. “Ganja tak layak dikategorikan narkoba golongan I dan secepatnya Indonesia harus melakukan penelitian,” ucap Jeff sembari terkekeh.

Kini ada upaya memanfaatkan ganja untuk pelayanan kesehatan di Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi. Persidangan daring itu berlangsung Rabu 21 April 2021 pagi.

Permohonan diajukan tiga ibu dari anak-anak yang menderita cerebral palsy yang menginginkan adanya pengobatan dengan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja), sebagaimana telah berkembang di dunia. Mereka adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti.

Sidang perkara 106/PUU-XVIII/2020 ini membahas poin-poin perbaikan permohonan yang disampaikan kuasa para pemohon pada Desember 2020 lalu. Yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya, termasuk penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Kuasa hukum pemohon Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, Singgih Tomi Gumilang menjelaskan, sidang kedua ini agendanya membacakan permohonan.

"Harapannya, ganja sebagai salah satu yang tercatat dalam daftar golongan I itu bisa dipakai untuk kesehatan," ujar Singgih, Kamis 22 April 2021.

Dikatakan Singgih, pada sidang kedua ini Mahkamah Konstitusi akan melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH). Untuk memutuskan apakah perkara ini layak dilanjutkan, atau diputus.

Ia juga menjelaskan pemohon Dwi Pertiwi kehilangan putranya, Musa IBN Hassan Pedersen pada 26 Desember 2020. Setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi cerebral palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil Undang-Undang Narkotika yang diinisiasi Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, yang terdiri dari Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, dan LGN, Kamis 19 November 2020.

Sebagai bagian dari perbaikan permohonan, tim kuasa pemohon juga menyampaikan perkembangan dari PBB yang mengubah sistem penggolongan narkotika. PBB mengeluarkan ganja dan resin ganja dari daftar narkotika paling berbahaya. Dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis.

Yakni pada Rabu 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (The UN Commission on Narcotic Drugs) melalui voting menyetujui rekomendasi WHO menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Konsekuensinya, ganja tidak lagi disamakan dengan jenis narkotika golongan I lainnya, yang memiliki ancaman risiko tertinggi hingga menyebabkan kematian.

Bahkan sebaliknya, hal ini memperkuat pengakuan dari dunia internasional tentang manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara. Baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.

Singgih berharap perkembangan-perkembangan di atas dapat semakin memperkuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi bahwa isu ini sangat relevan untuk diperhatikan. Sehingga persidangan dapat berlanjut ke proses pembuktian.

"Supaya apa yang terjadi pada Musa tidak terjadi pada anak-anak Indonesia yang lain," imbuhnya.

Ia mendesak pemerintah dan DPR dapat mengatur narkotika golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan mengikutinya perkembangan PBB. Sebagai negara anggota, Indonesia secara politis harus mengakui dan mengikuti perubahan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut sebagai rujukan Undang-Undang Narkotika.

Terapi Ganja di Australia untuk Selamatkan Anak Tercinta

Dilansir dari mkri.id, pada sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu 16 Desember 2020, para Pemohon mendalilkan tiga pemohon perseorangan merupakan para ibu dari anak yang menderita cerebral palsy.

Pemohon, Dwi Pertiwi, pernah memberikan terapi dupa ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita cerebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 lalu.

Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika. Begitu pula dengan dua ibu lainnya yang menjadi pemohon.

Adanya larangan tersebut secara jelas, menghalangi pemohon mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak pemohon. (*)

Editor: Rizki