Kampung Ketupat Samarinda, Bertahan Ditengah Pandemi untuk Warisan Nenek Moyang
Penulis: Yusuf
Jumat, 22 Mei 2020 | 1.952 views
Samarinda, Presisi.co – Sejak tahun 1999, Iin melanjutkan tradisi nenek moyangnya dengan menganyam ketupat bersama ratusan warga lainnya.
Selain melestarikan warisan leluhur. Pendapatan dari anyaman ketupat juga dapat membantu kebutuhan ekonomi keluarga.
Ibu rumah tangga dari empat orang anak itu tinggal di Kampung Ketupat. Kawasan yang sejak 11 Agustus 2017 lalu, ditetapkan sebagai salah satu tempat wisata di Kota Tepian, Samarinda
Bersama beberapa rekannya, Iin bisa menganyam hingga 400 bungkus ketupat yang biasa mereka jual ke beberapa pedagang baik di wilayah Samarinda, Tenggarong bahkan di Kota Balikpapan.
Untuk anyaman ketupat yang mereka jual, terbagi menjadi dua jenis. Pertama untuk ketupat soto banjar. Kedua, adalah ketupat bagi coto Makassar.
“Kalau orang tua dulu, bisa membuat 7 jenis anyaman. Untuk naik haji juga ada. Tapi kami tidak bisa,” kenang Iin.
Khusus untuk anyaman ketupat soto banjar, Iin jual dengan harga Rp 1.000 per satuannya. Sedangkan, untuk satu ikat berisi 100 anyaman ketupat soto banjar, di jual dengan harga Rp 50 ribu.
“Kalau penjual soto biasa ambil 500 sampai 1.000 (anyaman). Masing-masing ada pelangganya. Kadang, tinggal telepon aja langsung kami antarkan.” lugas Iin, Kamis (21/5/2020).
Bahkan, disaat permintaan sedang ramai, tak jarang kaum bapak juga ikut membantu. Tak hanya Iin, seluruh warga juga menjalani aktivitas yang sama, menjadi penganyam ketupat.
“Semua (warga) bikin. Biar bapak-bapaknya juga bikin (ketupat),” sebut warga RT 20, Kampung Ketupat, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang itu.
Saat Covid-19 'Menghantam' Bisnis Nenek Moyang
Foto : Menganyam ketupat, menjaga tradisi nenek moyang dan mengumpulkan pundi-pundi untuk ekonomi keluarga.
Ditengah panasnya terik matahari Samarinda siang itu. Iin turut menyampaikan dampak yang harus mereka hadapi ditengah pandemi Covid-19. Banyak warung soto yang tutup akibat corona, alhasil permintaan ketupat pun ikut menurun.
“Seperti ini kan corona, enggak ada yang ambil. Kena dampak juga kita, sepi,” akunya.
Hanya karena menjelang lebaran saja permintaan ketupat kembali meningkat, tambahnya. Hari-hari sebelumnya, tak banyak anyaman ketupat mereka dibeli oleh para langganan mereka yang terpaksa harus menutup sementara bisnis mereka akibat corona.
“Biasanya lancar aja. Kalau laku banyak bisa Rp 400 ribu yang kami dapatkan. Tapi kan ini lagi corona,” kata Iin lagi.
Dia menyebut, meski ada permintaan dari luar wilayah yakni Tenggarong. Mereka bahkan tak bisa mengantar pesanan lantaran akses masuk ke wilayah tersebut ditutup sementara waktu atas kebijakan memutus mata rantai penyebaran pandemi.
“KTP harus domisili sana. Jadi kami gak bisa masuk. Termasuk saat mencari bahan di daerah Dondang (Kukar),” terangnya.
Ia berharap, corona yang menghambat penjualan ketupat mereka ini segera berlalu. Agar, warga di Kampung Ketupat dapat hidup normal seperti sediakala.
Masa Depan Kampung Ketupat
Foto : Nampak seorang pengunjung tengah mengabadikan monumen ketupat yang menjadi ikon di Kampung Ketupat, Samarinda.
Sejak ditetapkan sebagai salah satu kawasan wisata di Kota Tepian, Kampung Ketupat diakui Iin mulai berinovasi dengan produk-produk yang dapat mereka hasilkan.
Bahan produksi yang biasa digunakan untuk menganyam ketupat dapat juga dimanfaatkan untuk mengolah hasil tangan lain yang dapat dijadikan oleh-oleh bagi para pengunjung yang datang.
“Lidi yang tipis bisa kita anyam untuk jadi piring. Banyak aja yang bisa kami bikin,” tuturnya.
Sejak Januari 2019 lalu, kawasan ini disulap menjadi lebih berwarna dan memiliki monumen ketupat. Banyak warga tertarik untuk datang berkunjung.
Apalagi, ada wacana pembuatan dermaga kapal wisata Pesut Mahakam di tempat mereka.
“Masih rencana, cuma belum ada lokasinya. Kalau pengunjungnya ramai kan penjualan warga juga ikut meningkat,” kata Iin mendukung wacana itu.
Berpuluh tahun hidup dengan menganyam ketupat, Iin mengaku tak khawatir jika warisan nenek moyangnya itu berhenti di generasi penerus mereka. Anak-anak warga yang bermukim di kampung tersebut turut diakui Iin lahir dengan bakat yang sama, hingga tak sulit bagi mereka ikut membantu orangtuanya menganyam ketupat.
“Tiap hari melihat orangtuanya menganyam. Tanpa diajarin mereka juga sudah bisa,” pungkasnya.