search

Opini

People PowerKerusuhan di NepalPemimpin IndonesiaDr. SyaifuddinOpini PengamatGeopolitik

People Power Nepal Cermin dan Pelajaran Berharga Bagi Pemimpin Indonesia

Penulis: Opini
2 jam yang lalu | 0 views
People Power Nepal Cermin dan Pelajaran Berharga Bagi Pemimpin Indonesia
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.

Presisi.co - Problematik kerusuhan sosial-politik yang terjadi di Nepal saat ini menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Keutuhan kepemimpinan negara itu runtuh, stabilitas sosial, politik dan ekonomi hancur lebur sebagai akibat supremasi hukum yang tidak berkeadilan dan kesejahteraan sosial tidak mendapat jaminan dari pemimpin / negara. Pada titik ini saya mengajak kita semua untuk menganalisis bagaimana kerusuhan sosial-politik di Nepal bisa terjadi melalui kacamata Political Leadership Theory (Teori Kepemimpinan Politik), utamanya pada perbedaan antara nilai-nilai kepemimpinan transformasional, kepemimpinan krisis, kepemimpinan transaksional, tentang tanggung jawab pemimpin dalam menjaga legitimasi, mengelola konflik, dan merespons kebutuhan masyarakat. Kemudian bagaimana kita melihat masalah yang sama dengan kacamata demokrasi deliberatif dan tata kelola partisipatif yang melibatkan masyarakat dalam proses kebijakan pemerintahan, serta bagaimana transparansi dan akuntabilitas negara sebagai elemen penting agar rakyat merasa didengar dan kebijakan bisa lebih responsif. Selanjutnya, analisis deskriptif atas masalah yang terjadi dapat dilakukan melalui tinjauan pustaka terkait “Kerusuhan Nepal: konflik Maoist (1996–2006)” yang berakibat lebih 17.000 korban jiwa dan jutaan orang terdampak secara sosial dan ekonomi.

Mencermati sikon masalah sosial, politik, ekonomi, dan hukum yang terjadi di Nepal selama ini sangat mirip dengan peristiwa politik yang pernah terjadi – dan kemungkinan akan terjadi lagi - di Indonesia. Nepal dan Indonesia adalah dua negara yang sama-sama memiliki sejarah transisi politik signifikan pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Nepal pada 2008 resmi melakukan reformasi politik, beralih dari monarki absolut menjadi republik federal demokratis setelah perang sipil panjang yang melibatkan Partai Komunis Maois.

Sementara itu, Indonesia pada 1998 ppeople power berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan memasuki era demokrasi murni. Kedua peristiwa politik yang heroik pada kedua negara ini sempat menjadi contoh harapan bagi dunia internasional sebagai model transformasi politik menuju system demokrasi murni. Namun, realitas politik pasca-transisi pada kedua negara ini menunjukkan penyimpangan arah dari cita-cita rakyat. Nepal terjebak dalam krisis yang terus menerus akibat instabilitas politik, korupsi, kesenjangan sosial, dan keterjepitan geopolitik. Sementara Indonesia meski relatif lebih stabil, namun juga menghadapi masalah kronis yang sama seperti korupsi yang massif, tindak abuse of power, dominasi oligarki dalam kebijakan negara, ketidakadilan sosial, dan berbagai macam pelanggaran lainnya terhadap nilai-nilai demokrasi.

Dalam konteks teori transformasi kepemimpinan, fenomena krisis politik yang sedang terjadi di Nepal serta kerusuhan politik yang terjadi pada akhir Agustus 2025 di Jakarta dan di daerah-daerah di Indonesia seharusnya menjadi cermin dan sekaligus warning bagi para pemimpin Indonesia, bahwa fenomena krisis yang telah dan sedang terjadi dimaksud bisa menjadi proyeksi akan situasi krisis di Indonesia di masa akan datang jika semua akar masalah serupa itu tidak segera ditangani dan diakhiri secara serius oleh pemimpin nasional.

Korupsi dan Tata Kelola yang Lemah

Menurut data Transparency Internationa (2022), Nepal masuk dalam daftar negara dengan tingkat korupsi tinggi, berada di peringkat 110 dari 180 negara pada Indeks Persepsi Korupsi 2022. Korupsi paling mencolok terlihat dalam penanganan gempa bumi 2015, di mana miliaran dolar bantuan internasional tidak dikelola secara transparan dan banyak kasus penyalahgunaan tercatat, (ICG, 2016:12). Hal ini memperburuk citra pemerintah dan memperdalam kemarahan rakyat di negara itu.

Sementara di Indonesia berdasarkan Transparency International (2022), menghadapi persoalan serupa. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 (peringkat 110, setara dengan Nepal). Kasus besar seperti korupsi rekayasa dana bansos Covid-19 atau kasus BTS Kominfo menunjukkan lemahnya integritas pejabat negara. Perbedaan utamanya, Indonesia memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meski lembaga ini terus dilemahkan melalui revisi UU dan intervensi politik, (Butt & Lindsey, 2020: 89). Jika praktik korupsi tersebut dibiarkan semakin meluas, rakyat Indonesia bisa kehilangan kepercayaan seperti rakyat Nepal yang sangat muak terhadap sikap dan prilaku para pemimpinnya.

Instabilitas Politik: Demokrasi yang Tidak Tuntas

Salah satu faktor utama penyebab kehancuran Nepal adalah instabilitas politik. Sejak 2008 hingga 2023, Nepal telah mengalami lebih dari sepuluh kali pergantian pemerintahan, dengan rata-rata usia kabinet hanya 1–2 tahun. Elit partai besar seperti Nepali Congress, Communist Party of Nepal (Unified Marxist–Leninist/CPN-UML), dan Communist Party of Nepal-Maoist Centre kerap berganti koalisi semata-mata demi kekuasaan, bukan kepentingan rakyat, (Khanal, 2021:44). Hal ini menciptakan rasa frustrasi mendalam di kalangan warga negara, karena demokrasi dipandang hanya sebagai alat kekuasaan elit, bukan sebagai mekanisme representasi kesejahteraan rakyat.

Situasi ini sejajar dengan fenomena politik di Indonesia, meskipun skalanya sedikit berbeda. Sejak reformasi 1998, Indonesia memang lebih stabil dalam hal pergantian kekuasaan karena pemilu berjalan teratur lima tahunan. Namun, substansi politik kerap dipenuhi praktik dominasi oligarki, politik uang (politik transaksional), dan persekongkolan jahat di antara elit negara. Pemilu sering dianggap hanya sebagai “ritual prosedural” tanpa menghasilkan perubahan substantif dalam kesejahteraan rakyat, (Hadiz & Robison,2010:45). Jika kecenderungan ini berlanjut, para pemimpin Indonesia bisa mengalami krisis legitimasi yang sama seperti yang terjadi di Nepal, di mana rakyat kehilangan kepercayaan terhadap semua institusi politik.

Ekonomi: Antara Remitansi dan Ketimpangan

Analisis terhadap kondisi ekonomi Nepal sangat bergantung pada remitansi tenaga kerja migran, yang menyumbang lebih dari 25% PDB, (World Bank, 2021). Setiap tahun, ratusan ribu pemuda Nepal berangkat mencari kerja ke Malaysia, Qatar, Uni Emirat Arab, Korea Selatan, dan lain negara untuk mencari nafkah karena pemerintah dalam negeri tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Hal ini menunjukkan fakta tentang kegagalan negara dalam membangun basis ekonomi domestic di Nepal.

Kondisi di Indonesia memang sedikit lebih beruntung. PDB Indonesia mencapai USD 1,39 triliun (2022), dengan pertumbuhan rata-rata 5% per-tahun, (BPS, 2023). Namun, masalah ketimpangan sosial semakin kontras. Indeks Gini Indonesia berada pada angka 0,388 (2022), menunjukkan distribusi kekayaan yang timpang. Pekerja migran Indonesia (TKI) memang menyumbang devisa cukup besar (USD 9,7 miliar pada 2021), tapi kontribusi terhadap PDB tidak sebesar di Nepal, (BNP2TKI, 2022). Meski Indonesia relatif lebih kuat, pola ketidakadilan social, ekonomi, dan hukum bisa memunculkan gejolak kerusuhan sosial yang serupa dengan di Nepal jika rakyat bawah semakin dipinggirkan, rakyat menengah terus menjadi sapih perah melalui berbagai dalil pajak akal-akalan yang pada akhirnya menjadi sumber korupsi oleh para pemimpin.

Diskriminasi Sosial dan Identitas

Apa yang terjadi di Nepal, masih dibayangi oleh warisan sistem kasta yang meski dilarang secara hukum, tetap berlaku dengan kuat dalam praktik sosial. Kelompok Dalit (kasta rendah) dan etnis minoritas seperti Madhesi sering mengalami diskriminasi dalam politik maupun pelayanan public, (Lawoti, 2014:76). Hal ini memicu protes besar, termasuk tuntutan federalisme etnis.

Di Indonesia memiliki dinamika berbeda, tetapi pada sisi yang lain tindak diskriminasi juga sangat kontras. Kelompok minoritas agama (Syiah, Ahmadiyah, dan Kristen di daerah tertentu) kerap mengalami intoleransi. Di Papua misalnya, ketidakadilan pembangunan memicu sentimen separatisme (Aspinall & Fealy, 2003:55). Sementara sumnber kekayaan alamnya kian hari dieksploitasi secara massif oleh elit kekuasaan dan oligarki. Meski di Indonesia bukan berbasis kasta, namun diskriminasi terjadi berbasis status sosial, agama, etnis, dan daerah. Jika fenomena ini tidak segera diatasi dan diakhiri, maka aksi ketidakadilan sosial dari basis akar rumput bisa menjadi “bom waktu” sebagaimana yang sedang terjadi di Nepal.

Geopolitik: Terjepit vs Strategis

Dari aspek geopolitik, Nepal memiliki posisi geopolitik yang sangat rawan, terjepit di antara dua raksasa Asia, yaitu antara India dan Tiongkok. Blokade India tahun 2015 menyebabkan krisis energi, obat, dan bahan pokok, memperparah penderitaan rakyat, (Panday, 2017:91). Situasi ini membuat Nepal sebagai negara berdaulat menjadi tidak berdaulat penuh dalam menjalankan politik luar negerinya.

Sedangkan Indonesia secara geopolitik relatif lebih beruntung karena berada di posisi strategis Indo-Pasifik dan memiliki kedaulatan maritim yang luas. Namun, posisi ini juga menjadikan Indonesia sebagai arena rivalitas antara AS dengan China. Jika pemimpin nasional tidak pandai memainkan komunikasi politik internasional melali diplomasi bebas aktif, maka bukan tidak mungkin kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia bisa terancam.

Belum lagi pengawasan yang lemah pada batas-batas negara di laut dan di darat yang selama ini terjadi telah membuat Indonesia gampang dibobol oleh kepentingan asing dengan segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan, serta sekaligus mengancam masa depan kedaulatan bangsa dan negara.

Cermin untuk Indonesia

Kondisi stabilitas politik yang tidak terjamin di Nepal selama 15 tahun terakhir, tindak korupsi elit politik dan pemerintah yang terus merajalela, ketimpangan sosial yang luar biasa, tidak adanya lapangan kerja, dll, telah membuat rakyat negara itu prustrasi dan tidak kuat lagi menyaksikan drama kebohongan para elit kekuasaannya yang hanya memperkaya diri.

Kondisi Nepal dimaksud memberikan sejumlah pelajaran penting bagi Indonesia, antara lain, pertama, demokrasi tidak cukup prosedural, harus substantif dan memenuhi janji keadilan social untuk semua. Kedua, korupsi harus diberantas serius tanpa pandang bulu, keadilan bukan sekadar jargon politik saja untuk tujuan manipulasi atau dagelan politik.

Tiga, ekonomi inklusif harus dibangun secara sustainable, agar rakyat tidak merasa termarjinalkan. Empat, pengelolaan keberagaman harus adil, agar diskriminasi tidak menimbulkan kecemburuan dan disintegrasi. Lima, diplomasi strategis harus dijaga, agar Indonesia tidak terseret dalam tekanan eksternal. Enam, Semua sumber kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan seluruh rakyat secara adil. Karena itu, hentikan eksploitasi semua kekayaan alam Indonesia yang hanya menguntungkan oligarki, pengusaha tertentu atau pihak asing secara sepihak.

Tujuh, tegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character building). Delapan, segera berlakukan Undang-Undang Penyitaan Aset Koruptor untuk dikembalikan kepada negara. Sembilan, hentikan dominasi dan hegemoni para oligarki yang serakah yang menguasai asset rakyat dan negara. Semua asset rakyat dan negara yang terlanjur dikuasai oleh mereka harus segera kembalikan pada rakyat dan negara seperti Kawasan PIK 1, PIK 2, dll. Sepuluh, bersihkan segera Lembaga negara dan birokrasi pemerintah dari tindak monopoli pihak-pihak tertentu dalm bentuk rangkap jabatan sebagi tindak manipulatif yang menguras uang negara secara serampangan.

Sebelas, Lakukan revisi Undang-Undang Partai Politik, serta negara harus melakukan pembinaan terhadap partai politik agar mereka patuh dan taat dalam menjalankan semua fungsi utamanya dengan akuntable. Duabelas, Negara harus melakukan kaderisasi untuk mempersiakan calon pemimpin negara masa depan dalam pase setiap 5-10 tahun dengan cara memfungsikan kembali Lemhannas dengan otoritas maksimal. Karena itu, harus segera membuat regulasi bahwa semua calon pemimpin negara di level pusat dan daerah, baik di eksekutif, legeslatif dan yudikatif, termasuk Lembaga negara vital lainnya wajib memiliki sertifikat Pendidikan dari Lemhannas.

Jika hal-hal di atas gagal dilakukan, bukan tidak mungkin Indonesia bisa mengalami krisis legitimasi politik sebagaimana dialami oleh para pemimpin di Nepal. Situasi saat ini sangat berbahaya jika Presiden Prabowo tidak sanggup segera mengambil keputusan dan kebijakan-kebijakan radikal yang bermuara pada pemenuhan aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat secara adil.

Penutup

Nepal adalah contoh nyata negara yang gagal memenuhi janji demokrasi pasca-transisi. Instabilitas politik, korupsi yang merajalela, ketimpangan ekonomi, diskriminasi sosial, dan tekanan geopolitik menjadikan rakyat kecewa, sinis, dan marah terhadap pemimpin mereka.

Indonesia saat ini masih lebih stabil, tetapi tanda-tanda kemiripan sudah sangat terlihat jelas, korupsi kronis, oligarki politik, kekecewaan terhadap demokrasi, dan ketidakadilan sosial. Dengan demikian, Nepal adalah cermin dan sekaigus warning (peringatan) bagi Indonesia. Jika Indonesia tidak mampu melakukan koreksi secara jujur dan mendasar, maka risiko krisis kepercayaan dan disintegrasi sosial bisa saja terjadi dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika Indonesia belajar dari kegagalan Nepal, maka peluang untuk memperkuat demokrasi substantif dan kesejahteraan rakyat akan tetap terbuka. (*)

Penulis:

Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. 
Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.


Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co