Pengamat: Garis Kemiskinan Indonesia Tidak Sesuai Kondisi Nyata
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
4 jam yang lalu | 0 views
Samarinda, Presisi.co - Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi menilai standar garis kemiskinan yang digunakan pemerintah saat ini tidak relevan dengan kondisi nyata masyarakat.
Hal tersebut dikarenakan, adanya rilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang menyatakan Garis Kemiskinan (GK) di Kaltim pada September 2024, mengalami peningkatan menjadi Rp 853.997 per kapita per bulan.
Angka ini naik 8,08 persen jika dibandingkan dengan GK pada Maret 2023 yang sebesar Rp 790.186 per kapita per bulan. Dengan GK September 2024, menunjukkan setiap warga Kaltim perlu mengeluarkan setidaknya Rp 28.466 per hari agar tidak dikategorikan miskin.
Menurutnya, indikator yang digunakan sejak tahun 1998 tidak pernah diperbarui secara signifikan, sehingga data yang dihasilkan tidak menggambarkan realitas kemiskinan di lapangan.
Lalu, ia mencontohkan, jika seorang warga membeli nasi campur yang seharga Rp 20.000. Purwadi bilang, itu saja belum termasuk membeli minum dan membayar parkir.
“Standar kemiskinan kita sangat jadul. Hanya angka nominalnya yang naik dari Rp 11.000 menjadi Rp 28.000 per hari. Tapi, apakah itu cukup?,” kata Purwadi.
Purwadi menjelaskan, dengan standar kemiskinan saat ini, masyarakat yang dianggap "tidak miskin" sebenarnya masuk dalam kategori rentan miskin. Maka, antara garis kemiskinan dan kondisi miskin ekstrem itu kurang jelas.
“Jika standar garis kemiskinan Indonesia mengikuti Bank Dunia sebesar 3,2 dolar AS per hari, maka lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia bisa dikategorikan miskin,” tambahnya.
Bahkan, menurut data Bank Dunia tahun 2017, Timor Leste memiliki GK di nominal Rp 560.000 dibandingkan Indonesia yang berada di nominal Rp 376.000. GK Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan Nigeria yang berada di nominal Rp 392.980 dan Kongo sebesar Rp 382.527.
"Ini sangat ironis. Timor Leste saja, yang dulu bagian dari kita, memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan kita," katanya.
Purwadi menilai pemerintah perlu segera merevisi indikator kemiskinan agar lebih relevan. Ia menyarankan pemerintah memakai standar indikator kemiskinan yang dipakai oleh bank dunia.
“Idealnya, BPS atau pemerintah melakukan review indikator kemiskinan setiap 10 tahun, seperti yang dilakukan Malaysia. Tapi kita, dari tahun 1998 sampai sekarang, tidak pernah memperbaiki,” tegasnya.
Selain pembaruan indikator, Purwadi menekankan pentingnya mendorong investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, untuk mencapai target pertumbuhan 8 persen seperti yang dicita-citakan pemerintah, diperlukan investasi minimal Rp 2.000 triliun per tahun.
“Nggak nggak sedikit itu Rp 2000 triliun itu sementara APBN kita kan cuma Rp 3600 triliun saja, sudah habis dibagi-bagi” ujarnya.
Kemudahan proses administrasi, suku bunga yang baik, infrastruktur, listrik, jalan, dan air merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam mengundang investor untuk berinvestasi.
Ia juga mengkritik fenomena pelarian modal (capital flight) dari Indonesia ke negara tetangga akibat ketidakpastian ekonomi.
“Contohnya Ibu Kota Nusantara (IKN). Banyak investor asing yang berminat. Tapi, setiap orang berminat belum tentu mau berinvestasi,” tambahnya.
Purwadi menegaskan kebijakan penurunan angka kemiskinan hanya akan menjadi retorika jika tidak didukung data yang akurat dan kebijakan yang konkret.
“Jadi jangan berpuas diri dengan data yang tidak relatif dengan kondisi lapangan,” pungkasnya. (*)