Aksi Makara di Samarinda Sorot Sederet Kontroversi yang Dianggap Mengancam Demokrasi
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Kamis, 22 Agustus 2024 | 386 views
Samarinda, Presisi.co - Mahasiswa Kalimantan Timur Bergerak (Makara) ikut menyuarakan perlawanan terhadap sikap DPR RI yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi terkait revisi UU Pilkada, yang salah satunya mengatur soal batasan umur kepala daerah dan aturan ambang batas atau threshold partai untuk mengusung pasangan calon.
“Alih-alih memberikan kebahagiaan dan perubahan, Rezim Jokowi justru hadir menjelma menjadi mimpi buruk masyarakat Indonesia,” kata Koordinator Aksi, Muhammad Yuga pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Lewat aksinya, Makara turut menyuarakan poin-poin penting yang menjadi refleksi 79 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
Poin-poin penting tersebut yakni stop komersialisasi pendidikan, tolak RUU TNI Polri, sahkan RUU masyarakat adat, usut tuntas pelanggaran HAM berat, wujudkan reforma agraria sejati, dan revisi RUU penyiaran.
Makara dikatakan Yuga tak segan mengibaratkan Jokowi sebagai demagouge atau perusuh. Sebagai pemimpin, Jokowi dianggap gagal jelang masa jabatannya yang akan segera berakhir.
“Itu bentuk kritik kami yang menyamakan Jokowi dengan Demagouge,” tegasnya.
Di sisi lain, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman, Taufik menyatakan aksi serentak secara nasional ini merupakan momentum yang baik untuk mengingatkan pemerintah terhadap keputusan MK yang seharusnya final dan mengikat.
Menurutnya, keputusan badan legislatif untuk merevisi undang-undang tersebut akan melemahkan posisi dari MK sebagai pengambil keputusan tertinggi di Indonesia. Apalagi, sebentar lagi pendaftaran calon kepala daerah akan dibuka untuk Pilkada serentak.
“Ini kan tahapan krusial, proses pencalonan kepala daerah di seluruh Indonesia ada 500 lebih. Kalau di daerah baik gubernur, bupati, atau wali kota, saya pikir saat ini Koalisi Indonesia Maju mempersempit ruang demokrasi,” jelas Taufik.
Dengan hanya ada satu calon kepala daerah dalam pilkada, kontestasi poltik disebut Taufik tentu tidak menarik.
“Kan enggak seru dong, kalau misalkan pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia tiba-tiba lebih banyak Pasangan calon Tunggal. Sementara, orang yang punya kompetensi tidak bisa ikut kontestasi,” tegasnya. (*)