Hilirisasi Nikel Digenjot, Masyarakat Pulau Wawonii Menjerit
Penulis: Rafika
Sabtu, 15 Juni 2024 | 664 views
Presisi.co - Puluhan warga dari koalisi masyarakat sipil, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), serta masyarakat Sulawesi dan Maluku Utara yang menempuh perjalanan jauh, menggelar aksi protes acara Konferensi Mineral Kritis Indonesia 2024, di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, dari 11 hingga 13 Juni 2024.
Aksi yang digelar pada Kamis (13/6) ini menyuarakan penolakan terhadap eksplorasi pertambangan yang dinilai telah membawa dampak buruk bagi lingkungan dan mata pencaharian masyarakat di sekitar wilayah tambang.
Meskipun sempat dihalangi oleh petugas hotel karena dilakukan di dalam area, para aktivis yang menentang eksplorasi nikel di Indonesia tetap melanjutkan aksinya.
Mereka mendesak penghentian eksplorasi yang merusak lingkungan dan mengancam mata pencaharian masyarakat, serta menyerukan kepada dunia internasional untuk tidak membeli "nikel kotor" dari Indonesia.
Wilman, seorang pemuda dari Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara yang mengikuti aksi tersebut, mengungkapkan di balik gempuran hilirisasi nikel yang digagas pemerintah, masyarakat Wawonii menanggung beban berat.
Pertambangan nikel di pulau tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan parah dan memicu bencana alam, seperti banjir dan kekeringan.
Lebih dari 5.000 penduduk dari 10 desa di Pulau Wawonii terdampak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perikanan, kini tak lagi bisa merasakan hasil yang memuaskan dari kedua sektor tersebut.
“Yang pertama dia ciptakan itu konflik sosial dulu, kemudian terjadi polarisasi antara pro dan kontra. Kemudian setelah melakukan penggalian nikel, melakukan penebangan pohon maka bencana selanjutnya adalah bencana banjir, bencana kekeringan, krisis air bersih,” ungkap Wilman.
Dikatakan Wilman, upaya hukum telah ditempuh oleh masyarakat dengan menggugat rencana tata ruang wilayah kepulauan dan berhasil memenangkan gugatan di Mahkamah Agung (MA).
Namun, perusahaan tambang melakukan langkah lanjutan dengan mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dan berujung kekalahan.
“Namun sayangnya kemenangan yang kami miliki melalui jalur hukum itu tidak menghentikan aktivitas perusahaan, malah perusahaan semakin brutal, semakin masuk dan melakukan penerobosan lahan pertanian warga,” tuturnya.
Masyarakat juga berusaha melaporkan penerobosan lahan pertanian oleh perusahaan, namun laporan mereka sia-sia saja lantaran tidak diproses oleh kepolisian. Lebih memprihatinkan lagi, mereka yang berani melawan malah dikriminalisasi.
Wildan berharap, pemerintah dapat menghentikan aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel, karena sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat yang berada di dalam lingkar tambang tersebut.
“Yang kami dapatkan hanya kehancuran, hanya kemiskinan yang akan terjadi, bahkan akan terjadi kemiskinan berkepanjangan kemudian kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Ketika pemerintah akan memaksakan, maka bukan hanya bencana alam, bukan hanya krisis air bersih tetapi kami akan mati karena kita mau berharap apa lagi ketika alam kami rusak sementara kami menggantungkan kehidupan di sektor pertanian dan kelautan,” tegasnya.
Ambisi pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik sebagai upaya memerangi krisis iklim dengan mengeksplorasi nikel secara besar-besaran di pulau-pulau kecil di Indonesia dikecam oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Kebijakan Jatam, menyatakan bahwa hal ini keliru dan berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat.
“Sebenarnya ini adalah sebuah daya rusak turunan dari ketika solusi perubahan iklim itu ditafsirkan keliru menjadi kuantifikasi dan akal-akalan finansial, lalu kemudian diterjemahkan jauh lebih rumit yang ternyata keluarnya adalah kendaraan berbasis tenaga listrik yang berbasis baterai,” ungkap Jamil.
Lebih lanjut, Jamil menuturkan cadangan nikel di Indonesia umumnya terpusat di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua. Mayoritas cadangan nikel ini berada di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Namun, eksplorasi nikel besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau kecil dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Aktivitas pertambangan berpotensi menyebabkan pulau-pulau kecil hilang dan tenggelam.
“Kemudian bisa kita bayangkan, teknikal datang, memporakporandakan semua lalu kemudian 2013 terjadi pemekaran kabupaten, nama Pulau Wawonii dihapus. Diubah menjadi Labupaten Konawe kepulauan. Jadi sejarahnya diputus, kemudian kita bayangkan pulaunya ditambang, hilang, Pulau Wawonii tenggelam, orang atau masyarakatnya mau pulang ke mana? Padahal hanya satu di dunia, dan orang Wawonii, saya kira sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai orang Wawonii karena pulaunya sudah hilang,” jelasnya.
Selain itu, Jamil menyebut Analisis Dampak Lingkungan atau Amdal yang seharusnya digunakan untuk mencegah kerusakan lingkungan, kini hanya dijadikan alat pemulus investasi.
Jamil juga menyoroti keadaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan yang cukup memprihatinkan. Meskipun telah menempuh jalur hukum dan memenangkan kasus di pengadilan, mereka seolah tidak memiliki daya apa pun untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi hak mereka.
“Sejak awal tidak setara kekuatannya termasuk negosiasi dan sebagainya yang tidak setara. Sehingga menjadi wajar kemudian kalau mereka menggeruduk kemarin, untuk menunjukkan bahwa akibat ambisi perubahan iklim, ambisi clean energy itu kehidupan yang dikorbankan juga tidak kecil dan justru tidak terlihat agenda transisinya. Justru terlihat semacam agenda substitusi energi karena pelaku dan pebisnisnya juga sama,” tegasnya. (*)