search

Daerah

Revenge PornPsikologisPerempuan

Dukungan Psikologis Penting dalam Kasus Revenge Porn

Penulis: Redaksi Presisi
Senin, 20 Mei 2024 | 620 views
Dukungan Psikologis Penting dalam Kasus Revenge Porn
Ilustrasi. (Ist)

Samarinda, Presisi.coRevenge porn atau balas dendam porno jadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat belakangan ini. Utamanya publik di jagat maya.

Istilah revenge porn cenderung tabu. Kendati demikian, kekerasan online berbasis gender ini, tidak secara langsung menjurus kepada pornografi seperti yang tersurat.

Pengamat Psikologi dari Universitas Mulawarman (Unmul), Ayunda Ramadhani menerangkan, revenge porn merupakan penyebaran konten sensual, tanpa persetujuan salah satu anggota pasangan. Tujuannya, membalas dendam atau mempermalukan korban.

Kebanyakan korbannya adalah perempuan. “Karena tidak terima diputuskan sepihak, biasanya si pelaku itu membalas sakit hatinya, dengan menyebarkan foto atau video,” ucap Ayunda via telepon.  Senin, (20/05/2024).

Ayunda melanjutkan, kasus ini sering terjadi dalam sebuah hubungan. Baik itu pasangan yang sudah menikah maupun belum. Motifnya, kata dia, beragam. Bisa kemarahan, dendam, maupun keinginan pelaku untuk mengontrol korban.

Kurangnya empati jadi hal utama, yang menggiring perilaku pelaku. Mereka, sebut Ayunda, melakukan revenge porn tanpa memikirkan perasaan korban.

“Ini juga bisa karena faktor budaya. Jadi kita terbiasa dibesarkan dengan budaya patriarki sehingga menempatkan laki-laki sebagai sosok yang superior,” jelas perempuan, yang juga psikolog Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Samarinda tersebut.

Akademisi psikologi lainnya dari Unmul, Lisdia Sofia menambahkan, untuk keluar dari kondisi ini, korban harus berani bersuara. Landasan utama dalam perlindungannya adalah Undang-Undang ITE.

“Kalau sudah merasa tidak nyaman laporkan pihak berwajib. Korban sering memilih untuk diam karena malu, tetapi mereka harus berani melawan," tegas Sofia.

Di sisi lain, terang Sofia, korban butuh dukungan psikologi. Pendidikan terhadap membina hubungan yang baik, jadi fokus utama yang disarankan. Sehingga hubungan toxic yang berujung pada kekerasan bisa dihindari.

"Proses pemulihan memang panjang dan tidak mudah. Tetapi, dengan dukungan yang tepat, korban dapat mengubah pola pikir dan bangkit kembali," katanya.

"Korban harus menunjukkan bahwa mereka tidak akan kembali kepada pelaku dan siap untuk bangkit lagi," ucap Sofia, menambahkan. (*)