Tak Bergejala Bukan Berarti Anda Terbebas dari Covid-19
Penulis: Redaksi Presisi
Sabtu, 09 Mei 2020 | 1.192 views
Cerita seorang penyintas COVID-19 tanpa gejala serius menceritakan hari-hari selama isolasi dan pesan pentingnya bagi pasien lain.
Perjalanan hidup membawa kita ke berbagai tempat, mulai dari yang lapang sehingga kita bebas berlari, yang indah dan membuat kita takjub, yang nyaman sehingga kita bisa melepas lelah dengan tenang, sampai yang sempit dan membuat kita tak bisa berbuat banyak. Hingga penghujung bulan Maret 2020, perjalanan kerja lintas daerah dan negara dalam empat pekan terakhir membawa saya ke banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang untuk menuntaskan tugas-tugas kenegaraan.
Lalu, tanpa firasat khusus, datanglah hari bersejarah itu. Di tengah pandemi, pemerintah Jawa Barat membentuk fasilitas uji virus yang tengah melanda dunia, dan saya ditetapkan sebagai salah satu orang yang dites untuk menguji keabsahan fasilitas lab tersebut. Rupanya, virus tersebut ada di dalam tubuh saya. Sebelumnya, saya memang sempat demam tapi tidak begitu tinggi. Selain itu, walaupun tenggorokan terasa tidak enak, secara umum sebetulnya saya merasa baik-baik saja.
Ketika pertama kali terkonfirmasi bahwa saya positif COVID-19, saya sungguh terkejut. Akan tetapi, saya mengingatkan diri bahwa saya tidak boleh berlama-lama kaget. Jadi, saya berusaha menata perasaan saya agar kembali normal. Itu terjadi pada hari kedua setelah diagnosis. Secara terbuka, saya menyampaikan informasi tentang keadaan saya kepada teman-teman. Menyampaikan kondisi kepada publik dan being normal penting bagi saya untuk mengendalikan emosi dan pikiran, di samping melakukan aktivitas, tetap produktif, banyak berdoa, dan terus berkomunikasi dengan keluarga. Dengan pendampingan istri dan orang tua lah, saya jadi bisa lebih tenang menghadapi semua ini.
Salah satu hal yang saya lakukan setelah terkonfirmasi positif adalah membantu pemerintah melakukan contact tracing. Dalam contact tracing, saya mencatat siapa saja yang berinteraksi dengan saya selama 14 hari ke belakang. Kemudian, saya hubungi mereka satu per satu. Dari sekian banyak yang bertemu dan berinteraksi dengan saya, sebagian dari mereka telah menjalani tes. Memang ada yang positif, termasuk istri saya sendiri, tetapi sedikit sekali. Meski bersyukur karena lebih banyak yang hasilnya negatif, seketika saya tersadar bahwa tidak bergejala serius belum tentu tidak terinfeksi. Saya pun mencatat bahwa siapa pun, bahkan yang merasa sehat sekali pun, harus berhati-hati dengan mengurangi bepergian dan selalu mengenakan masker kain ke mana pun pergi.
Hari-hari berikutnya saya jalani bersama istri di rumah sakit, sedangkan anak kami titipkan di rumah kawan saya. Terkait pekerjaan, aktivitas saya di bidang investasi dan infrastruktur banyak dibatasi dan bahkan berhenti sama sekali. Sebagai gantinya, saya memusatkan seluruh perhatian pada proses penyembuhan istri dan saya. Selama di RS, saya mengonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter setiap hari. Secara berkala, dokter dan perawat memantau kondisi kami sampai dua kali sehari untuk mengecek tensi, kadar oksigen, detak jantung, dan indikator umum lainnya melalui pengecekan darah, rontgen, dan swab test untuk mengetahui tingkat virus di dalam tubuh.
Karena saya tidak mengalami gejala, tidak ada pantangan tertentu bagi saya. Saya pun bebas makan apa saja, terutama yang disediakan oleh RS. Untuk menjaga kebugaran, olahraga tetap saya lakukan walau yang ringan-ringan saja. Pada dasarnya, hari-hari di RS berlangsung normal. Hanya saja, saya harus tetap berada di dalam ruangan isolasi agar penyakit dan virus tidak menyebar kemana-mana. Tujuan isolasi adalah supaya penyakit ini tidak tertularkan ke lebih banyak orang lain dan agar kami fokus pada pengobatan.
Walaupun di awal saya merasa kaget, saya bersyukur dengan keberadaan istri sebagai support systemsaya, yang kebetulan dirawat bersama saya karena juga terkonfirmasi positif. Karena dia, saya terpacu untuk kuat dan segera sehat. Selama masa isolasi ini pun saya belajar mengenal istri saya lebih dalam karena kami berada dalam satu ruangan bersama, tak terpisah. Saya belajar untuk menyayanginya dengan lebih baik. Dia pun sabar menghadapi situasi yang ada. Anak kami, Langit, yang tinggal di rumah kawan, juga memberi kami motivasi. Kalau biasanya saya pergi kerja ke luar kota atau negeri, saya tahu kapan akan pulang dan bertemu dia lagi. Kali ini, semua serba tidak pasti. Namun, ia benar-benar tangguh. Hanya sesekali ia meneteskan air mata. Selebihnya ia selalu ceria.
Setelah proses pengobatan selama 14 hari, istri dan saya diperbolehkan pulang ke rumah. Namun, dokter meminta kami untuk tetap mengisolasi diri di rumah, dan anak kami diminta untuk bersabar selama beberapa hari di rumah kawan saya sampai kami bisa bertemu lagi. Meski sedih, kami menyadari bahwa hal ini penting demi kesehatan dan keamanan Langit sendiri. Pulang ke rumah juga merupakan bagian dari proses pemulihan karena kami menjadi lebih rileks.
Oleh sebab itu, saya mengajak teman-teman yang terkonfirmasi tapi tanpa gejala, untuk merawat diri di rumah supaya perasaan lebih tenang. Jika secara psikologis merasa lebih baik, antibodi bisa lebih cepat terbentuk.
Menengok ke belakang, 14 hari selama isolasi di RS tak akan saya lupakan. Ada banyak kesan mendalam pada hari-hari yang saya lewati hanya dalam sebidang ruang. Selama itu, saya tidak banyak bicara dan lebih banyak menatap wajah istri serta berdialog dengan Sang Pencipta. Hari-hari terakhir di ruang isolasi memberikan kesempatan bagi saya untuk berpikir dan merenung. Momen kontemplasi seperti inilah yang selalu saya rindukan karena saya jadi bisa melakukan introspeksi dan merencanakan masa depan.
Proses selama 14 hari ini akan selalu saya ingat dan menjadi cerita untuk anak cucu di kemudian hari, bahwa saya pernah jadi bagian sejarah sebagai salah satu yang terinfeksi virus di awal tahun 2020, bahwa saya adalah penyintas yang selamat dari pandemi, sebuah peristiwa global yang akan masuk pelajaran sekolah di masa mendatang. Saya pernah jadi angka ke-11 di Jawa Barat, ke-130 sekian di Indonesia. Ini bukan sekadar angka melainkan manusia-manusia nyata yang tengah berjuang sembuh dari COVID-19. Saya pun turut bahagia bisa meningkatkan data statistik dan berkontribusi terhadap jumlah pasien yang dinyatakan sembuh.
Akhir kata, saya haturkan terima kasih atas bantuan, doa, dan dukungan bagi kami sekeluarga. Untuk pasien lain yang harus menjalani isolasi selama 14, 21, atau bahkan 28 hari, banyaklah bersabar. Tahan sedikit rasa rindu pada keluarga dan teman. Tahan sedikit keinginan untuk interaksi karena kalau yang lain sudah kena, panjang lagi urusannya. Saya, istri, dan penyintas lainnya adalah bukti bahwa kalian pun bisa sembuh. Jangan patah semangat demi orang-orang tercinta.
Untuk teman-teman yang terkonfirmasi tanpa gejala, yang menurut saya jumlahnya lebih banyak di Indonesia, terus pantau keadaan diri dan tetap bertanggung jawab dengan tinggal di rumah. Lihat panduannya di sini.
Melawan COVID-19 adalah perjuangan bersama. Maka, saya berharap agar kita semua – pasien, penyintas, tenaga medis, relawan non-medis, dan masyarakat umum – bisa bahu-membahu dan menguatkan satu sama lain, agar pandemi ini segera berlalu.
Penulis: Ridwansyah Yusuf Achmad (Staf Ahli bidang Investasi dan Hubungan Internasional untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat)