search

Berita

SoehartoSoeharto pahlawan nasionalBivitri Susantigelar pahlawan nasional Soehartopahlawan nasional

Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Bisa Dibatalkan, Ini Penjelasan Pakar Hukum Tata Negara

Penulis: Rafika
2 jam yang lalu | 0 views
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Bisa Dibatalkan, Ini Penjelasan Pakar Hukum Tata Negara
Presiden ke-2 RI Soeharto. (net)

Presisi.co - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menegaskan bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukanlah keputusan yang tak bisa diganggu gugat.

Menurutnya, secara hukum, kebijakan tersebut masih dapat dipersoalkan melalui jalur pengadilan.

“Penetapan gelar pahlawan itu bentuknya keputusan presiden, dan secara teori hanya bisa dibatalkan oleh dua hal. Pertama, oleh lembaga yang mengeluarkan keputusan itu sendiri, atau oleh pengadilan,” jelas Bivitri saat ditemui di aksi Kamisan, depan Istana Negara, Jakarta, Kamis, 13 November 2025, dilansir dari Suara.com --jaringan Presisi.co.

Ia menilai, secara formal, Presiden memiliki kewenangan untuk mencabut kembali keputusan tersebut. Namun, Bivitri mengaku pesimistis langkah itu akan diambil oleh pemerintah saat ini.

“Saya sih nggak percaya ya dia akan membatalkan, tapi di atas kertas kita bisa tuntut itu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bivitri menyebut sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS) dan KontraS, telah menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Yang diuji keputusan presiden yang menetapkan sepuluh nama sebagai pahlawan nasional tahun ini, termasuk Soeharto,” tuturnya.

Selain jalur PTUN, Bivitri mengatakan ada pula langkah konstitusional yang tengah disiapkan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya ini, menurutnya, penting untuk memastikan dasar hukum dan prosedur penetapan gelar tersebut tetap selaras dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap sejarah bangsa.

Bivitri menegaskan, langkah-langkah hukum dari masyarakat sipil menunjukkan bahwa publik masih memiliki ruang untuk menantang kebijakan negara yang dianggap tidak sejalan dengan nilai keadilan publik serta ingatan kolektif korban pelanggaran HAM di masa lalu. (*)

Editor: Redaksi