search

Berita

Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional5 November memperingati hari apa sejarah HCPSN puspa dan satwa nasional flora fauna Indonesia tema HCPSN 2025
Melati PutihAnggrek BulanRafflesia Arnoldii

Sejarah Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 5 November: Makna, Tema 2025 dan Cara Merayakannya

Penulis: Redaksi Presisi
2 jam yang lalu | 0 views
Sejarah Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 5 November: Makna, Tema 2025 dan Cara Merayakannya
Ilustrasi Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 5 November. (Istimewa)

Presisi.co — Pernah terlintas di kepala, 5 November memperingati hari apa? Banyak mungkin mengira hanya tanggal biasa. Padahal, sejak lebih dari tiga dekade lalu, tanggal ini memiliki makna penting bagi Indonesia: Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Peringatan ini bukan simbol seremonial semata, tetapi pengingat serius bahwa kekayaan hayati Nusantara tidak akan bertahan tanpa campur tangan manusia untuk merawat dan melindunginya.

Di tengah ancaman deforestasi, perburuan liar, hingga krisis iklim global, HCPSN hadir sebagai alarm moral kepada publik. Ia mengingatkan bahwa flora dan fauna bukan hiasan alam. Mereka fondasi kehidupan, penopang ekosistem, dan identitas bangsa. Tanpa kesadaran kolektif, edisi HCPSN berikutnya hanya akan jadi momen nostalgia tentang kekayaan yang pernah kita punya.

Peringatan ini mengajak masyarakat untuk mengambil peran sederhana namun nyata. Mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menanam pohon, memelihara lingkungan sekitar, hingga ikut kampanye konservasi. Pesannya jelas: mencintai alam bukan slogan, melainkan praktik hidup sehari-hari. Saat alam rusak, manusia yang pertama merasakan akibatnya.

HCPSN bukan perayaan yang glamor. Ia lebih mirip cermin besar: menggambarkan seberapa serius kita menjaga rumah sendiri. Kekayaan hayati Indonesia bukan prestasi masa lalu, melainkan amanah yang harus dijaga untuk masa depan.

Apa Itu Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional?

Secara harfiah, “puspa” berarti bunga atau tumbuhan, sementara “satwa” berarti hewan. Maka, Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional adalah momen untuk mengingatkan publik akan pentingnya flora dan fauna Indonesia — terutama yang menjadi simbol identitas nasional. Peringatan ini dilaksanakan setiap 5 November, berlangsung secara nasional, dan biasanya dirangkai oleh kegiatan edukasi lingkungan, kampanye pelestarian, hingga gerakan menanam tumbuhan endemik.

Makna hari ini sederhana namun fundamental: meningkatkan kesadaran dan rasa peduli masyarakat agar kekayaan flora dan fauna Indonesia tetap lestari. Negara ini memiliki lebih dari 20% keanekaragaman hayati dunia, namun banyak spesies kini berada di jurang kepunahan akibat eksploitasi, kerusakan habitat, dan perubahan iklim.

Peringatan HCPSN juga memberi ruang bagi dunia pendidikan dan komunitas konservasi memperkuat pemahaman publik. Anak-anak diperkenalkan pada spesies endemik, pelajar diajak ikut menanam pohon, sementara komunitas melakukan kampanye dan konservasi kawasan lindung. Aksi kecil, jika dilakukan bersama, mampu membangun dampak besar.

HCPSN bukan sekadar perayaan flora dan fauna; ini tentang merawat kehidupan. Tanaman yang kita rawat hari ini menghasilkan oksigen bagi masa depan. Satwa yang kita lindungi menjaga keseimbangan alam. Pelestarian bukan pilihan — itu kebutuhan.

Sejarah Resmi Penetapan HCPSN

Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional ditetapkan pada tahun 1993 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1993, yang ditandatangani Presiden Soeharto. Konteks saat itu jelas: meningkatnya eksploitasi alam, pembukaan hutan besar-besaran, dan maraknya perdagangan satwa liar. Pemerintah menyadari perlu ada momentum tahunan untuk mengingatkan publik akan pentingnya perlindungan biodiversitas Nusantara.

Keputusan ini kemudian melahirkan berbagai program edukasi dan konservasi. Pemerintah, akademisi, sekolah, hingga komunitas pecinta lingkungan ikut bergerak. Selain itu, regulasi perlindungan satwa diperkuat, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2018 yang memastikan perlindungan terhadap 919 jenis tumbuhan dan satwa langka.

Sejarah ini menandai bahwa pelestarian alam bukan isu sekadar kebijakan melainkan kesadaran nasional. Tanpa tindakan nyata, Indonesia hanya akan dikenal sebagai “negara yang dulu kaya biodiversitas.” Ironis, dan jelas bukan warisan yang layak diberikan pada generasi berikutnya.

Hari ini, tantangan makin besar. Perubahan iklim, kebakaran hutan, dan aktivitas manusia agresif terhadap habitat alami menuntut peran aktif lebih luas. HCPSN adalah pengingat bahwa perlindungan alam tidak boleh ditunda.

Puspa Nasional: Keindahan yang Menjadi Identitas Bangsa

Indonesia memiliki tiga puspa nasional yang ditetapkan sebagai simbol kebanggaan flora Nusantara.

1. Melati Putih (Jasminum sambac) — Puspa Bangsa
Melambangkan kesucian dan ketulusan. Identik dengan upacara tradisional, budaya nusantara, hingga simbol kelembutan perempuan Indonesia. Meski bunganya kecil, maknanya besar.

2. Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis) — Puspa Pesona

Bunga yang memikat dunia dengan bentuk elegan dan warna lembut. Banyak ditemukan di hutan tropis lembap. Keindahannya menjadikan Indonesia dikenal sebagai “negeri seribu anggrek.”

3. Rafflesia Arnoldii — Puspa Langka

Bunga terbesar di dunia dari hutan Sumatera. Berbau menyengat untuk menarik serangga penyerbuk. Jarang mekar, sangat rentan gangguan habitat. Simbol bahwa alam punya rahasia besar dan menakjubkan.

Setiap bunga membawa kisah. Dari melati yang tumbuh di halaman rumah hingga Rafflesia yang mekar jauh di pedalaman. Merawat bunga tidak hanya soal estetika; itu cara menjaga budaya, identitas, dan ekosistem. Saat kita merawat tanaman lokal, kita merawat jati diri bangsa.

Satwa Nasional: Penjaga Alam Nusantara

Sama halnya flora, Indonesia juga menetapkan tiga satwa nasional:

1. Komodo — Satwa Darat
Reptil raksasa predator puncak endemik Pulau Komodo. Simbol ketangguhan dan daya hidup alam Nusantara.

2. Ikan Siluk Merah (Arowana) — Satwa Air
Dikenal sebagai “naga air” dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Habitatnya tersebar di perairan Kalimantan. Kini statusnya rentan akibat alih fungsi lahan dan perdagangan ilegal.

3. Elang Jawa — Satwa Udara

Burung pemangsa langka sering dianggap sebagai simbol Garuda hidup. Keberadaannya menjadi indikator kesehatan hutan. Jumlahnya terus menurun hingga program konservasi ketat dilakukan.

Satwa-satwa ini bukan sekadar kebanggaan, tetapi barometer kesehatan alam. Bila mereka hilang, bukan hanya identitas bangsa yang lenyap — keseimbangan ekosistem hancur. Melindungi mereka berarti melindungi generasi mendatang.

Tema HCPSN 2025: Menjaga Kekayaan Hayati Nusantara

Tema HCPSN 2025 mengangkat tajuk “Menjaga Kekayaan Hayati Nusantara”. Fokus utamanya sederhana: aksi nyata. Kampanye anti-sampah plastik, gerakan tanam puspa endemik, sampai edukasi mengenai satwa dilindungi di sekolah dan komunitas.

Tema ini mendesak karena ancaman biodiversitas semakin nyata:

  • Perubahan iklim mengubah pola ekosistem
  • Kebakaran hutan merusak habitat
  • Perburuan dan perdagangan satwa meningkat
  • Deforestasi terus terjadi

Peringatan ini menekankan bahwa pelestarian bukan hanya tugas pemerintah atau akademisi. Masyarakat punya peran sama penting. Gerakan kecil dari rumah, sekolah, kantor, hingga desa dapat jadi pondasi konservasi nasional yang berkelanjutan.

Ide Kegiatan untuk Merayakan HCPSN

Peringatan HCPSN tidak butuh panggung megah. Aksi sederhana bisa dilakukan siapa saja:

  • Menanam tanaman lokal di halaman rumah atau sekolah
  • Mengikuti tur konservasi di taman nasional
  • Membuat poster edukasi satwa dan flora
  • Mengikuti webinar atau diskusi lingkungan
  • Tidak membeli produk dari satwa liar
  • Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai

Aksi kecil konsisten lebih berarti daripada seremonial besar tanpa dampak.

Baca Juga