search

Berita

SUMBU TENGAHPerjanjian Kutai-BelandaPemerintah Hindia BelandaAji Muhammad Mirza WardanaAji Mirni MawarniMuhammad Sarip diskusi publik

Momentum Refleksi Kaltim dalam NKRI dari Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda

Penulis: Siaran Pers
4 jam yang lalu | 0 views
Momentum Refleksi Kaltim dalam NKRI dari Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda
Dari kiri: Rusdianto, Lambang Subagiyo (WR I Unmul), Aji Mirni Mawarni (DPD RI), Susilo (Dekan FKIP), Aji Muhammad Mirza Wardana, Muhammad Sarip, Jacinta Maharani Mulawarman. (Foto: Dok.Muhammad Fajar Saputra)

Presisi.co - Suasana Gedung Dekanat FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, pada 8 Agustus 2025 dipenuhi oleh puluhan peserta dari kalangan mahasiswa, dosen, guru, pegiat budaya, hingga pejabat pemerintah.

Mereka berkumpul memperingati dua abad penandatanganan perjanjian bersejarah antara Kesultanan Kutai dan Pemerintah Hindia Belanda yang terjadi tepat pada tanggal yang sama di tahun 1825.

Forum diskusi publik ini digagas oleh SUMBU TENGAH, berkolaborasi dengan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul dan Lasaloka-KSB.

Selain mengangkat kisah sejarah, forum ini juga menjadi ruang untuk mengkritisi posisi Kalimantan Timur dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Aji Mirni Mawarni, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan MPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Timur, hadir sebagai pembicara utama.

Tiga narasumber lain turut memberikan pandangan, yakni Muhammad Sarip, penulis Histori Kutai; Aji Muhammad Mirza Wardana, Petinggi Pore Sempekat Keroan Kutai; serta Muhammad Azmi, dosen Pendidikan Sejarah Unmul. Acara dipandu oleh Rusdianto, founder SUMBU TENGAH dengan pewara Jacinta Maharani Mulawarman dari Duta Bahasa Kaltimtara.

Dalam pemaparannya, Mawar—keturunan Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman—menyampaikan perlunya penulisan sejarah berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ia juga membagikan buku Histori Kutai kepada semua peserta yang setia hadir hingga penutupan acara. Buku yang terbit pada 2023 ini dilengkapi epilog dari sejarawan Prof. Asvi Warman Adam.

“Sebagai orang Kutai, saya merasa bertanggung jawab meluruskan sejarah Kutai yang selama ini simpang siur. Saya dan adik saya memberi dukungan kepada Mas Sarip untuk menulis kembali sejarah ini dengan membuka akses arsip di ANRI dan menggali sumber lisan dari para sepuh kerabat Sultan Kutai,” ujarnya.

Ia menambahkan, peringatan 200 tahun perjanjian Kutai-Belanda selayaknya dijadikan pengingat bagi pemerintah pusat.

“Zaman Hindia Belanda, Kesultanan Kutai membuat kontrak kerja sama dengan Belanda. Sekarang, di era NKRI, hasil sumber daya alam Kaltim justru banyak dinikmati di Jakarta, sementara masyarakat Kaltim masih belum merasakan sepenuhnya manfaat pembangunan,” tegasnya.

Sejarawan publik Muhammad Sarip mengkritik minimnya porsi sejarah Kutai dan Kalimantan Timur dalam penulisan sejarah nasional yang cenderung terpusat di Pulau Jawa.

“Pemerintah pusat justru memberi perhatian lebih besar pada peringatan 200 tahun Perang Jawa atau Perang Diponegoro, yang dirayakan meriah di Jakarta selama sebulan penuh dari 20 Juli sampai 20 Agustus 2025,” paparnya.

Sarip menjelaskan, hubungan resmi antara Kutai dan Hindia Belanda dimulai 8 Agustus 1825, saat George Muller, utusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, datang ke Tenggarong untuk menandatangani perjanjian dengan Sultan Aji Muhammad Salihuddin.

“Kesepakatan sepuluh pasal itu dibuat pada era Hindia Belanda yang menggantikan VOC tanpa ada peperangan ataupun kekerasan sebelumnya,” ungkapnya.

Aji Muhammad Mirza Wardana menilai isi perjanjian Kutai–Belanda 1825 tidak menandakan penjajahan.

“Sultan Kutai pasti menimbang dengan cermat keuntungan dan kerugian sebelum menyetujui perjanjian dengan Belanda,” jelasnya.

Acara juga menampilkan naskah asli perjanjian yang telah didigitalisasi oleh Sarip. Teks beraksara Arab Melayu tersebut dibacakan oleh Azmi, yang pernah belajar di pesantren.

“Kalau dicermati, isinya lebih seperti kontrak dagang, bukan dokumen penjajahan,” jelasnya, yang juga pernah menjabat Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul.

Rusdianto mengingatkan pentingnya kesadaran masyarakat untuk mengangkat sejarah lokal tanpa menunggu pengakuan dari pemerintah pusat.

“Angka 200 tahun ini istimewa dan tidak akan terulang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Perayaan berikutnya baru akan tiba di usia 250 tahun, pada 2075,” ujarnya.

Ia menutup forum dengan ajakan untuk menghidupkan sejarah lewat penelitian dan ruang-ruang publik yang kritis.

“Sejarah lokal harus berpijak pada sumber primer dan riset, bukan sekadar seremoni,” pungkasnya.

Acara ini dibuka oleh sambutan Rektor Universitas Mulawarman Prof. Abdunnur yang diwakili Prof. Lambang Subagiyo selaku Wakil Rektor I dan didampingi Dekan FKIP Prof. Susilo.