Samarinda, Presisi.co – Kasus tambang batu bara ilegal yang terungkap di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto menimbulkan kekhawatiran serius dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Pokja 30 Kalimantan Timur, anggota Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, yang menegaskan perlunya pengusutan menyeluruh terhadap jaringan yang terlibat dalam aktivitas penambangan ilegal ini.
Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo, menyatakan bahwa temuan Bareskrim Polri harus menjadi momentum untuk menyingkap seluruh aktor yang mendapat keuntungan dari kejahatan ini. Ia menegaskan bahwa penindakan tidak boleh berhenti pada tiga tersangka yang telah ditetapkan.
"Kami mengapresiasi Bareskrim Polri yang berhasil mengungkap peredaran batubara dari tambang ilegal di Kaltim, tetapi ini bukan satu-satunya kasus. Masih banyak peredaran batubara dan aktivitas tambang ilegal lainnya di Kaltim yang belum tersentuh. Bukan hanya tiga orang tersangka yang terlibat; harus diusut tuntas siapa pihak lain yang menerima dan menjadi penerima manfaat dari kejahatan ini," ujar Buyung melalui rilisnya yang dikirim ke Presisi.co Senin 21 Juli 2025.
Buyung juga mengkritik lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum di tingkat daerah. Menurutnya, aparat lokal seperti Polda Kaltim, Pemerintah Daerah, Otorita IKN, dan Gakkum seharusnya bisa mendeteksi dan menghentikan operasi ilegal yang disebut-sebut telah berjalan sejak 2016.
"Kasus ini juga menjadi bukti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di Kaltim ketika berhadapan dengan korporasi industri tambang yang melanggar hukum, apalagi yang ilegal. Termasuk Polda Kaltim, Pemerintah Daerah, Otorita IKN, dan instansi penegakan hukum lainnya, jangan sampai publik berburuk sangka ada apa-apanya hingga Bareskrim Polri yang baru bisa mengungkap masalah ini,” tegasnya.
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap operasi tambang batubara ilegal dengan modus penggunaan dokumen palsu dari perusahaan resmi seperti PT MMJ dan PT BMJ. Sebanyak 351 kontainer batubara ilegal disita, dan para pelaku diduga menggunakan dokumen IUP milik perusahaan legal agar muatan tampak sah saat dikirim dari Pelabuhan Kariangau Terminal (KKT) Balikpapan ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Koalisi PWYP Indonesia mencatat bahwa kerugian negara akibat tambang ilegal ini mencapai Rp5,7 triliun, yang terdiri dari deplesi batubara sebesar Rp3,5 triliun dan kerusakan hutan senilai Rp2,2 triliun.
Sementar itu Peneliti PWYP Indonesia, Adzkia Farirahman atau karibnya disapa Azil menyebut bahwa kasus ini bukan sekadar insiden, melainkan indikasi kegagalan pengawasan sektor pertambangan minerba.
Menurutnya, bagaimana mungkin tambang ilegal bisa beroperasi begitu lama di kawasan prioritas nasional seperti IKN tanpa deteksi dini.
"Kami mendesak diikuti dengan investigasi menyeluruh terhadap kemungkinan dugaan kuat keterlibatan pihak-pihak terkait, mulai dari penambang, penyedia jasa transportasi, agen pelayaran, perusahaan-perusahan pemilik berizin, operasional pelabuhan maupun pejabat terkait lainnya," tegasnya.
Azil juga menyoroti bahwa penambangan ilegal di kawasan konservasi seperti Tahura Bukit Soeharto tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mempercepat degradasi lingkungan, meningkatkan emisi karbon, dan menghambat transisi energi berkelanjutan.
Maka dari itu pihaknya mendesak adanya audit menyeluruh terhadap semua IP di sekitar IKN, termasuk sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti terlibat dalam pemalsuan dokumen. Memperkuat penguatan sistem pemantauan digital disinergikan dengan verifikasi lapangan.
"Juga perkuat transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan," tegasnya. (*)