Protes Ibtihal Aboussad, Perlawanan Sipil di Tengah Konflik dan Korporasi Global
Penulis:
4 jam yang lalu | 3 views
Rachmayani, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIP) Jakarta
Presisi.co - SIAPA sangka momen perayaan besar peringatan 50 tahun Microsoft beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba saja menjadi panggung dalam menyuarakan isu Palestina, terutama soal Gaza yang hampir dua tahun belakangan ini dihantam ketidakadilan. Adalah Ibtihal Aboussad, seorang perempuan muda, insinyur software di Microsoft yang langsung menjadi sorotan di acara tersebut.
Di saat Mustofa Suleyman, CEO Divisi AI Microsoft berpidato, dengan penuh keberanian Ibtihal berdiri dan menyela pidato Mustafa. Sambil menggenggam kain khafiyeh, ia berteriak “Mustofa, kamu memalukan dan betapa tega kamu, kamu adalah pencari untung dari perang, hentikan penggunaan kecerdasan buatan untuk genosida!”. Seketika Ibtihal jadi pusat perhatiaan saat itu, meski akhirnya ia dipaksa untuk meninggalkan ruangan.
Tapi aksi Ibtihal ini bukanlah protes biasa. Ia menyingkap bau busuk yang selama ini ditutupi oleh megahnya dunia teknologi. Selama 3 tahun bekerja di Microsoft, ia menyaksikan keterlibatan perusahaan tersebut dalam proyek militer Israel di tengah genosida yang berlangsung di Gaza saat ini.
Protes Ibtihal menjadi titik balik. Semacam pengingat keras bagi dunia, di balik gedung korporasi global terdapat sisi gelap yang tidak bisa didiamkan begitu saja.
Meskipun Ibtihal adalah bagian dari Microsoft, tempat yang diimpikan oleh banyak orang, namun nyatanya berkarir di sana semakin membuatnya gelisah. Keahliannya di bidang teknologi artificial intelligence (AI/kecerdasan buatan) ternyata disalahgunakan oleh perusahaan, yang menurutnya berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Ibtihal bahkan terlibat Project Nimbus, sebuah proyek kerja sama antara Google dan Amazon dengan pemerintah Israel.
Proyek tersebut bertujuan untuk menyediakan layanan cloud computing dan AI, termasuk layanan teknologi militer untuk Israel. Ibtihal yakin bahwa Microsoft berkontribusi terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Gaza, sehingga ia merasa sudah saatnya bersuara. Tindakan yang dilakukan Ibtihal menunjukkan bahwa batas antara isu domestik dan internasional semakin memudar.
Sebagai perempuan berdarah Palestina ia tidak hanya speak up sebagai seorang karyawan. Ia juga sebagai bagian dari komunitas global yang terdampak langsung oleh kebijakan negara tempat ia tinggal, dan oleh kepentingan korporasi global tempatnya bekerja.
Gerakan sipil, peran individu
Melalui lensa hubungan internasional kontemporer, aksi yang dilakukan oleh Ibtihal merupakan bagian dari gerakan sipil transnasional. Aksi yang ia lakukan disebut insider activism, bertempur dalam sistem, yang mana ia manfaatkan posisinya untuk menantang kebijakan atau praktik perusahaan tersebut. Penentangan ini dilakukan karena kebijakan dan praktik dalam sistem itu tidak sesuai dengan nilai yang dianut, meskipun akan ada risiko profesional yang didapat akibat dari penentangan yang dilakukan.
Bisa berkarir di korporasi global saja sudah tentu membutuhkan perjuangan yang sangat besar, namun bagi Ibtihal memilih hati nuraninya lebih penting. Dengan meneriakkan ketidakadilan, ia siap melepas segala capaian yang telah digenggam. Ini merupakan sikap keberanian besar yang patut di apresiasi.
Salah satu bait dari penggalan email yang dikirim Ibtihal ke rekan-rekan kerjanya setelah insiden protes itu tertulis, "Setelah mengetahui bahwa organisasi saya mendukung genosida terhadap bangsa saya di Palestina, saya tidak melihat pilihan moral lain."
Kalimat di atas mengandung beban emosional dan politik yang kuat, serta sikap moral yang tegas. Ia tidak hanya membantah kebijakan Microsoft secara terang-terangan, Ibtihal bahkan mengekspos diskriminasi Miscrosoft terhadap kelompok minoritas.
Ia menulis, “Selama satu setengah tahun terakhir, komunitas Arab, Palestina, dan Muslim di Microsoft telah dibungkam, diintimidasi, dilecehkan, dan diungkap identitasnya (doxxing), tanpa konsekuensi dari Microsoft. Upaya untuk bersuara paling baik hanya diabaikan, dan paling buruk mengakibatkan pemecatan dua pegawai hanya karena mengadakan acara doa bersama. Tidak ada cara lain agar suara kami didengar.”
Ibtihal tidak hanya melawan kebijakan Microsoft. Protesnya juga menantang tatanan kekuasaan global yang memberi jalan korporasi ikut andil dalam konflik bersenjata tanpa mempedulikan norma dan hukum internasional.
Keberanian Ibtihal untuk speak up dan menyampaikan pesan moral yang kuat lewat emailnya, memperlihatkan integritasnya terhadap nilai kemanusiaan yang tidak bisa dibeli oleh gaji besar dan kenyamanan sekalipun. Untaian kalimat Ibtihal menjadi harapan bagi perubahan, bukan hanya untuk Gaza, tapi juga untuk dunia.
Tidak hanya sekadar menulis surat elektronik, Ibtihal berbicara dari hatinya, tentang identitas, keadilan, dan kemanusiaan, sambil mengajak rekan-rekan kerjanya, juga masyarakat global untuk merenung; sebetulnya teknologi itu alat milik siapa dan kekuasaan digunakan untuk apa? Ibtihal tidak takut membongkar agenda tersembunyi Microsoft yang lebih memilih keuntungan ketimbang kemanusiaan.
Para peminat studi ilmu hubungan internasional mungkin familiar dengan istilah norm entrepreneurs - dari Finnemore dan Sikkink yang menjelaskan tentang peran individu yang merubah norma dan melawan arus dengan narasi tandingan.
Apa yang dilakukan oleh Ibtihal adalah bagian dari strategi norm entrepreneurs ketika ia bertindak sebagai agen perubahan dengan segala sumber daya yang ia punya. Dalam konteks ini, Ibtihal memantik diskusi yang tadinya bicara inovasi teknologi, menjadi sebuah pertanyaan mendasar; teknologi ini sebenarnya untuk siapa dan efeknya apa untuk dunia?
Microsoft, AI, dan Etika Korporasi Global
Perusahaan teknologi seperti Microsoft dan Google beberapa tahun belakangan terlibat dalam kontrak atau kerja sama militer dengan beberapa negara. Pada 2017, Google menjalin kerja sama dengan Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam sebuah proyek yang bernama Project Maven. Sebuah proyek kerja sama yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis rekaman drone.
Bisa ditebak, isu tersebut menuai kontroversi secara luas, karena ada kekhawatiran kalau teknologi tersebut digunakan untuk tujuan jahat yang bisa melanggar hak asasi manusia. Sebut saja teknologi yang digunakan untuk pengawasan massal atau penggunaan AI yang tidak bermoral dalam operasi militer. Tidak hanya menuai kontroversi, karyawan-karyawan Google bahkan melakukan aksi penolakan, hingga pada akhirnya Google memutuskan untuk tidak memperpanjang kerja sama tersebut pada 2018.
Di atas kertas, Microsoft maupun Google sebetulnya memiliki kode etik yang menghormati hak asasi manusia, menghormati keberagaman, integritas, maupun akuntabilitas yang terlihat menarik untuk brosur perusahaan. Tapi kenyataanya fiktif belaka. Pada kasus Ibtihal misalnya, nilai-nilai mulia tersebut tidak berlaku untuk kelompok minoritas di dalam perusahaan mereka.
Ketika ada suara atau tuntutan keadilan dari karyawan, terlebih dalam isu Palestina, Microsoft seolah tidak mau mendengar. Perusahaan Google pun sama saja, meski dulu terkenal dengan motto perusahaannya, "Don't Be Evil", namun entah kenapa kini diubah menjadi "Do the Right Thing" tanpa alasan yang jelas. Dalam konteks teknologi kecerdasan buatan yang merupakan inovasi mutakhir di era digital saat ini, AI telah dintegrasikan ke dalam sistem Microsoft maupun Google dalam beberapa dekade belakangan.
AI juga memberikan dampak revolusioner dalam teknologi Microsoft di berbagai bidang, seperti layanan fitur di produk Microsoft Office, layanan Microsoft Copilot, hingga layanan cloud yang akhir-akhir ini dimanfaatkan untuk kepentingan militer. Tentu hal ini mengerikan.
Sebetulnya, gejala ini menunjukkan bahwa ada perusahaan yang kode etiknya sekadar simbol belaka dan tidak diimplementasikan dalam tindakan nyata. Hal itu membuktikan pada masyarakat luas bahwa telah terjadi ketimpangan antara janji moral perusahaan dan realitas bisnis yang mereka lakukan. Tidak heran ketika perusahaan besar mengalami dilema etis - ingin mengejar keuntungan tapi mengorbankan kemanusiaan.
Di titik ini hubungan internasional bersinggungan dengan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan yang mewakili perusahaan menyeimbangkan antara tuntutan pasar, tekanan politik dan standar moral global. CSR harusnya tidak sekadar basa-basi sosial, tapi bagaimana perusahaan menjaga citranya di panggung internasional dengan mengharmonisasikan ucapan dan tindakan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi tantangan seperti ini perusahaan harus lebih transparan dan berkomitmen pada prinsip-prinsip CSR agar mereka tidak hanya memenuhi ekspektasi pasar tetapi juga memberikan dampak positif terhadap perdamaian dan keadilan global. Perusahaan seharusnya bertindak secara bertanggung jawab, membentuk relasi internasional yang lebih berimbang dan mampu menegakkan standar moral universal.
Ketika suara tak bisa lagi dibungkam, suara Ibtihal tidak hanya menggema di dinding kantor gedung Microsoft, resonansinya menggetarkan ruh dan semangat perlawanan global terhadap ketidakadilan. Tidak semua orang bernyali seperti Ibtihal, ia mewakili wajah baru gerakan sipil, tanpa harus turun ke jalan, tapi mampu menyuarakan nurani melawan sistem dari dalam.
Di dunia yang semakin riuh dengan segala permasalahan ekonomi, politik dan moral, suara seperti Ibtihal menjadi semakin langka. Bukan karena lantangnya, tapi karena keberaniannya untuk bicara ketika semua orang memilih diam. Di tengah riuh tepuk tangan untuk para penguasa kapital, di dalam markas raksasa teknologi, justru di situ dia berdiri. Terkadang memang, keberanian muncul dari tempat yang paling tidak disangka-sangka.