Pengamat Sebut Kepala Daerah Dipilih DPRD Bisa Menimbulkan Distorsi Demokrasi
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
3 jam yang lalu | 0 views
Samarinda, Persisi.co – Pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Iman Surya menyatakan perubahan sistem Pilkada harus dikaji ulang secara mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Pendapat tersebut diutarakan Iman, setelah Presiden Prabowo melontarkan wacana pemilihan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pembahasan tersebut bahkan sudah sampai di Komisi II DPR RI dan bahkan diiringi rencana revisi Omnibus Law Politik yang diharapkan memuat aturan baru terkait Pilkada.
Iman bilang, ada dua fokus aspek menurutnya harus dikaji kembali secara mendalam sebelum mengubah format Pilkada tersebut.
“Dari aspek keuangan negara, tidak bisa dinafikan kalau dalam sekali Pilkada kita merasakan dampak dari kebijakan Pemilu tersebut. Dari efisiensi, hari ini kita masih tidak bisa menafikan bahwa tingkat perhatian masyarakat terhadap Pemilu juga belum mencapai target," kata Iman pada Senin, 16 Desember 2024.
Perubahan format Pilkada ini juga beririsan dengan tingkat partisipasi politik masyarakat selama Pilkada masih rendah, meski target KPU pada tahun 2024 sebesar 81,48 persen.
"Ini menjadi tantangan yang harus diselesaikan. Namun, solusi itu bukan dengan menghilangkan hak pilih langsung masyarakat,” tambahnya.
Iman bercerita, perubahan sistem ini pernah memicu polemik pada 2014, saat Presiden SBY membatalkan UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur Pilkada lewat DPRD disahkan. Namun, segera dibatalkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
"Sederhana saja, kalau kita menghilangkan Pilkada sama saja kita menghilangkan legitimasi pemerintah daerah. Apalagi legitimasinya diambil oleh DPRD, secara tidak langsung mereka akan mudah untuk melakukan intervensi politik," ucapnya.
Meski efisiensi anggaran menjadi alasan kuat, Iman menilai hal tersebut tidak cukup untuk mengabaikan prinsip demokrasi. Menurut Iman, sistem presidensial yang dianut Indonesia tidak mengenal mekanisme legislatif memilih eksekutif.
“Jika DPRD memilih kepala daerah, ini akan menimbulkan distorsi dalam sistem trias politika kita, di mana semestinya eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang sejajar,” jelasnya.
Selain itu, Iman menilai wacana ini tidak lepas dari kepentingan politik. Ia mengingatkan, sistem Pilkada langsung maupun tidak langsung memiliki tantangan, terutama dalam hal integritas dan transparansi.
“Demokrasi tanpa uang dan manipulasi politik masih menjadi cita-cita yang sulit dicapai,” ujarnya.
Iman mengatakan, perubahan sistem Pilkada harus mempertimbangkan dampak sosial, politik, dan hukum yang menyeluruh.
“Mengubah sistem pemilu tanpa landasan yang kuat hanya akan memicu distorsi dan mengancam prinsip presidensial yang kita anut, di mana legislatif tidak boleh memilih eksekutif,” ujarnya.
Iman menegaskan solusi dari masalah Pilkada tidak terletak pada perubahan mekanisme pemilihan, tetapi pada penguatan sistem yang sudah ada.
“Partisipasi masyarakat yang rendah, politik uang, hingga sengketa Pilkada, semua ini harus diselesaikan dengan memperkuat sistem pemilu kita, bukan menghilangkan hak rakyat untuk memilih,” pungkasnya. (*)