Menilik Urgensi Revisi UU Penyiaran, Pembatasan Ruang Gerak Pers atau Penyesuaian Era Digital?
Penulis: Rafika
Rabu, 22 Mei 2024 | 740 views
Presisi.co - Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32/2002 tentang Penyiaran memicu polemik dan kontroversi belakangan ini. Sebabnya, substansi Pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik dikhawatirkan membatasi kebebasan pers.
Direktur Eksekutif lembaga studi dan pemantauan media Remotivi, Yovantra Arief, mengatakan bahwa perkembangan zaman telah mendorong kehadiran teknologi digital yang menggantikan siaran analog dan platform media non-konvensional seperti sosial media.
Era digital juga telah mengubah cara masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi informasi. Publik tidak lagi hanya menjadi konsumen pasif yang menerima informasi dari media massa konvensional. Kini, masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih jenis informasi yang ingin mereka konsumsi.
Untuk itu, RUU Penyiaran diperlukan untuk menyesuaikan peran aktif masyarakat dalam era digital dan seharusnya mampu mengakomodir semangat tersebut, bukan sebaliknya.
“Kami melihat bahwa draf (RUU Penyiaran) yang ada sekarang itu sangat jauh dari kepentingan nasional kita gitu ya, dan dia juga justru memberangus banyak hak kebebasan kreativitas, kebebasan pers, berekspresi, dari warga,” sebut Arief kepada VOA, Minggu (19/5).
Ancaman Terhadap Jurnalisme Investigasi
Survei Katadata Insight Center yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2021 mengungkap bahwa media sosial menjadi platform utama masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi.
Sebanyak 73 persen responden menyatakan bahwa mereka paling sering mendapatkan informasi melalui media sosial. Angka ini jauh melampaui platform lain, seperti televisi (59,7%) dan berita online (26,7%).
Melonjaknya konsumsi informasi masyarakat melalui media sosial akhirnya memaksa perusahaan media konvensional dan jurnalis untuk beradaptasi. Alhasil, produk jurnalistik dewasa ini banyak disebarkan melalui platform media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
“Peredarannya bisa lewat Instagram, lewat TikTok, lewat Facebook atau lewat YouTube. Jadi arus informasi ‘jurnalistik’ saat ini lebih didominasi audio visual,” sebut Aqwam Fiazmi Hanifan, Produser Narasi Newsroom kepada VOA, Jumat (17/5).
Selaku Produser Investigasi Visual, Aqwam juga mengimplementasikan hal serupa untuk produk jurnalistik yang dihasilkannya.
Menurut Aqwam, jangkauan format audio visual yang sangat luas, terlebih jika konten tersebut viral, menjadi salah satu alasan utama mengapa pemerintah dan DPR untuk melakukan intervensi melalui RUU Penyiaran terbaru.
“Kalau kita berkaca kepada pemilu kemarin, di mana banyak produksi kawan-kawan audio visual seperti misalkan mas Dandy (melalui Watchdog), misalkan juga kawan-kawan Tempo yang mengconvert, dikurangi peran berbasis teks mereka dengan format podcast,” tuturnya.
Menurut Aqwam, alasan tersebut terlihat jelas dalam pembahasan RUU terkini yang secara spesifik menyasar pengawasan audio visual, bukan hasil jurnalisme investigasi dalam bentuk tulisan.
“Karena yang mengatur (lewat UU penyiaran) kan KPI ya, bukan Dewan Pers. Jadi sebetulnya yang ingin mereka setop, yang ingin mereka regulasi secara penuh memang konten-konten investigasi berbasis audio visual,” Jelas Aqwam.
Urgensi Perluasan Wewenang KPI
Perkembangan teknologi penyiaran yang pesat, termasuk siaran Over-The-Top (OTT) melalui internet tanpa melibatkan operator penyiaran konvensional seperti televisi dan radio, menjadi salah satu alasan utama kebutuhan revisi UU Penyiaran untuk memperluas wewenang KPI dalam pengawasannya.
Hal ini disampaikan oleh Rizki Natakusumah, Anggota DPR Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat. Ia mengatakan wacana untuk merevisi UU No. 32 tahun 2002 sudah sejak lama timbul tenggelam pembahasannya dalam beberapa periode pemerintahan terakhir.
Meski begitu, Rizki tak menampik bahwa revisi ini menimbulkan kontroversi di masyarakat, terutama terkait kekhawatiran terhadap potensi ancaman kebebasan pers.
“Tentu etika jurnalisme dan lain sebagainya itu UU Pers yang mengatur. Intinya di UU Penyiaran ini dibahas apa yang layak, apa yang pantas (disiarkan), atau etika dalam penyiaran itu sendiri. Bukan kebebasan pers yang ingin kita atur di situ,” jelas Rizki, Selasa (21/5).
Tumpang Tindih Tugas Penegak Hukum?
Dalam pembahasan RUU Penyiaran, Rizqi menyebut DPR menerima masukan dari aparat penegak hukum untuk membatasi pemberitaan kasus yang sedang ditangani. Hal ini dinilai perlu agar kasus tidak diungkap secara berlebihan oleh media.
Aqwam pun mengiyakan bahwa ada tudingan bahwa kinerja media sering overlap dengan apa yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
“Masalahnya dalam beberapa kasus, dalam pengalaman pribadi saya, aparat penegak hukum enggak bekerja dengan semestinya,” ujar Aqwam.
“Ada banyak laporan investigasi oleh teman-teman media di Indonesia yang pada akhirnya itu mampu membongkar satu kasus yang pada mulanya gagal diselesaikan secara maksimal oleh aparat penegak hukum. Contohnya kasus Sambo,” pungkasnya.
Menurut Aqwam, jika kasus tersebut tidak ada dorongan media untuk mengungkap fakta sebenarnya, kasus tersebut akan menguap begitu saja seperti halnya dengan Joshua yang meninggal dalam peristiwa baku tembak. (*)