Tutup Celah Korupsi, KPK Perbaiki Sistem 'e-Purchasing'
Penulis: Redaksi Presisi
Rabu, 24 Mei 2023 | 1.141 views
Presisi.co - Pemerintah telah membangun sistem pengadaan barang dan jasa melalui skema elektronik sejak 2012. Tujuannya mencegah tindak pidana korupsi. Namun, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengakali sistem ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperbaiki sistem belanja elektronik dan mengembangkan sistem anti-fraud (kecurangan) sebagai upaya untuk mengerem tindak pidana korupsi di Tanah Air. Berdasarkan pengamatan lembaga antirasuah tersebut, sistem pengadaan barang dan jasa adalah ladang korupsi paling subur bagi birokrat, termasuk di antaranya dua kepala daerah yang menjadi tersangka dalam perkara terkait pengadaan barang dan jasa baru-baru ini.
“Pengadaan itu paling enak, paling enak. Tinggal ambil komisi, dan lewat e-catalog juga bisa. Saya baca, yang dua terakhir kan, Bandung sama Meranti, kan e-catalog. Artinya sistem kita ini masih (ada kelemahan),” ujar Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, ketika berbicara dalam Bincang Stranas PK: Potensi Fraud Pada e-Purchasing dan Mitigasi Risikonya, Selasa (23/5).
KPK menangkap Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil pada 6 April 2023. Adil kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam tiga perkara, salah satunya adalah kasus pengadaan jasa umroh. Diskon penyedia jasa yang seharusnya dikembalikan ke daerah, justru diterima Adil sebesar Rp1,4 miliar. Selain itu, KPK juga menangkap Wali Kota Bandung Yana Mulyana pada 14 April 2023. Dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi suap dan penerimaan gratifikasi pengadaan CCTV dan penyedia jasa internet untuk proyek "Bandung Smart City".
Pahala mengakui, masih sering mendengar suara yang menyatakan bahwa sistem e-catalog tetap bisa diakali sebagai celah korupsi. Namun dia yakin, upaya itu akan melahirkan sistem pengawasan baru, demikian seterusnya.
KPK sendiri mengakui perlu dilakukannya upaya untuk memperbaiki sistem belanja elektronik. Langkahnya antara lain dengan mengembangkan sistem untuk mendeteksi fraud, membangun mitigasi serta sistem yang cukup kuat, serta mengundang pihak swasta yang lebih mampu membangun sistem anti-fraud.
“Sistem ini terus di-review. Jadi saya bilang sama unit-unit pengadaan, sama inspektorat, jangan kecil hati. Apapun sistem pasti bisa dibobol kalau niat. Wong sistem dijalanin manusia kok,” ujar Pahala.
Ia secara terbuka, meminta perusahaan-perusahaan swasta, khususnya terkait lokapasar (marketplace) dan teknologi, untuk memberi masukan.
Pahala menuturkan bahwa salah satu perbaikan yang diupayakan KPK adalah mengusulkan memasukan penyedia barang yang nakal dalam daftar hitam. Namun, langkah ini perlu perbaikan di mana yang dimasukkan daftar hitam bukan nama perusahaan, tetapi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pengusaha.
“Kalau di-blacklist NIK, dia mau pakai nama PT apapun, selesai dia. Kita kunci di Dirjen AHU. Karena digital kita bisa connect NIK segala macam,” ujarnya.
Belum Bisa Deteksi
Pemerintah telah mendirikan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) untuk mengelola sistem. Lembaga ini menerima mandat untuk mendorong peningkatan belanja pemerintah secara daring, dan memprioritaskan barang produk dalam negeri. Target saat ini, ada lima juta barang dan jasa di e-catalog dengan nilai transaksi Rp500 triliun. Pemerintah juga meminta tingkat konsumsi barang dalam negeri mencapai 95 persen dengan produk UKM 40 persen masuk dalam daftar.
Plt. Deputi Bidang Transformasi Pengadaan Digital LKPP, Yulianto Prihandoyo, memaparkan pihaknya saat ini sedang membangun dashboard utama pembelanjaan pemerintah. Dalam dashboard ini, semua masyarakat dapat mengakses dan mengetahui jumlah anggaran kementerian dan lembaga dalam pengadaan barang dan jasa, berapa yang sudah dibelanjakan, dan berapa yang sudah dibayar.
Yulianto mengakui, salah satu titik lemah adalah deteksi terhadap upaya mengakali ketentuan, yang dilakukan pejabat dalam pembelian barang dan jasa.
“Kasus Meranti itu belanja di katalog, ini sistem kami memang ternyata belum bisa mendeteksi,” kata Yulianto.
Dari pengecekan sejauh ini diketahui bahwa perusahaan penyedia jasa umroh yang terlibat berkantor di Jakarta. Perusahaan itu kemudian membuka cabang di Kabupaten Kepulauan Meranti. Kepala cabangnya adalah seorang pejabat atau Aparatur Sipil Negara (ASN) di kabupaten itu sendiri.
“Nah sayangnya, sistem kami belum bisa mendeteksi itu. Tapi tentu saja setelah kita dapat informasi seperti itu, sangat mungkin nanti bisa kita lakukan hal-hal yang kira-kira ke depan platform belanja kita, katalog kita, bisa punya sensitifitas mendeteksi yang seperti ini, sehingga kita bisa mencegah,” lanjut Yulianto.
Menuju Arah Tepat
Namun, meski memiliki sejumlah kekurangan, pemerintah telah menuju arah yang tepat melalui kebijakan digitalisasi proyek pengadaan barang dan jasa. Pejabat dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BKPP) Ide Juang Humantito menyebut otomatisasi pelayaan publik, virtualisasi proses bisnis pemerintah, dan virtualisasi proses pelayanan publik, telah tepat.
“Tepat dari sisi governancy, dari sisi manajemen risiko maupun dari sisi pengendalian,” kata Juang.
BKPP telah melakukan berbagai langkah. Misalnya mengembangkan e-audit dan pemanfaatan open source intelligent.
“Tadi cerita tentang penyedia barang dan jasa di Kabupaten Meranti itu ASN, baru diketahui setelah kejadian. Nah kita kembangkan Open Source Intelligent untuk profiling,” tambah Juang.
Profiling yang dilakukan bukan hanya terkait individu seperti Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta data-data keluarga dan sejenisnya. Namun juga profiling perusahaan penyedia barang dan jasa. Langkah ini untuk mengendus dua hal, orang yang popular secara politik (politically exposed person) dan orang yang menerima keuntungan dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung ultimate beneficial ownership).
“Yang termasuk satu kasus pengendali itu kan, ternyata ada orang-orang politik di balik kontraktor-kontraktor tersebut. Nah itu gunanya open source intellegent untuk profiling penyedia,” papar Juang.
Selain itu, penting juga mengembangkan masyarakat pembelajar untuk mobilisasi digital. Fenomena belakangan ini, di mana masyarakat memviralkan berbagai peristiwa yang berlanjut pada penyelidikan kasus korupsi, bisa menjadi salah satu metode. Kasus kemewahan di luar kewajaran pegawai Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai, serta dugaan korupsi pada sejumlah ruas jalan yang rusak di beberapa daerah adalah contoh beberapa upaya penyelidikan korupsi yang dimulai dari tayangan-tayangan yang viral di masyarakat. (ns/ah/presisi)