SMRC: Ganjar, Anies dan Prabowo Tangguh Terhadap Polarisasi Pilpres 2024
Penulis: Redaksi Presisi
Kamis, 23 Maret 2023 | 1.618 views
Presisi.co - Hasil survei dari Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC) baru-baru ini menyebut bahwa tiga tokoh politik yang digadang-gadang bakal maju sebagai bakal calon presiden (bacapres) di Pemilu 2024 adalah sosok yang tangguh terhadap polarisasi ditengah kehidupan masyarakat Indonesia yang moderat.
“Siapa pun yang maju di antara tiga nama yang paling kompetitif sekarang (Ganjar, Prabowo, atau Anies), tidak punya masalah dengan polarisasi,” tegas Saiful dikutip dari Website Saifulmujani.com pada Kamis, 23 Maret 2023.
Dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Polarisasi di Pilpres 2024? (bagian 2)” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV, dijelaskan Saiful jika isu mengenai polarisasi adalah perdebatan lama yang pada mulanya lebih banyak mengenai persoalan ekonomi: kiri atau kanan.
"Di Eropa, kiri artinya lebih pro-negara atau sosialis, kanan lebih liberal atau lebih percaya pada individu atau masyarakat yang bisa mengatasi persoalan ekonomi sendiri," sebutnya.
Dari sederet studi yang ia jelaskan, Saiful bilang poisis pemilih dalam persaingan politik terhadap ketiga tokoh politik tersebut berada di tengah. Hal tersebut berlaku di antara persaingan antara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo termasuk jika Anies berhadapan dengan Prabowo.
Ia mengatakan, jika persaingan politik antara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, umumnya pemilih keduanya berada di tengah. Baik pendukung Anies maupun pendukung Ganjar, sama-sama memiliki kecenderungan ideologi kiri atau menginginkan intervensi negara dalam ekonomi. Pada posisi kanan, pro-peran individu, kedua tokoh ini memiliki pendukung yang lemah.
Kondisi ini, menurut Saiful, tidak menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi. Kalau terjadi polarisasi, mestinya pendukung Anies tinggi di sebelah kanan pendukung Ganjar tinggi di sebelah kiri, dan di tengah kosong atau rendah.
“Persaingan Anies dan Ganjar tidak membuat masyarakat terpolarisasi dari spektrum ideologi ekonomi kiri dan kanan atau pro-negara dan pasar,” simpulnya.
Sementara, pola yang sama juga berlaku bagi pemilih Ganjar dan Prabowo.
"Kekhawatiran tentang adanya ancaman polarisasi tidak memiliki dasar empiris. Masih ada kurang lebih satu tahun sebelum Pemilu," ungkapnya.
Saiful meyakini masyarakat tidak bisa berubah secara drastis dalam waktu yang singkat, misalnya dari yang moderat menjadi terpolarisasi. Kampanye, menurut dia, tidak bisa mengubah sikap masyarakat dari yang moderat menjadi terpolarisasi secara ekonomi dalam waktu yang singkat. Adanya isu atau kekhawatiran tentang polarisasi, lanjutnya, lebih banyak dibesar-besarkan oleh sekelompok orang tertentu.
Masyarakat Indonesia, kata Saiful, umumnya adalah moderat. Dan mereka tidak bisa dipolarisasi oleh persaingan politik dalam Pilpres. Hal tersebut dijabarkan dia lewat studi terbaru dimana masyarakat diminta memberi skor pada dirinya antara 0 sampai 10, di mana semakin mendekati 0 berarti semakin pro pada pandangan bahwa pemerintah bertanggung-jawab bagi kesejahteraan rakyat, sementara semakin mendekati 10, berarti semakin mendukung gagasan rakyat harus mengurus dirinya sendiri dan bertanggung-jawab atas keberhasilan hidupnya.
Hasilnya, rata-rata skor yang diberikan oleh publik adalah 4,31. Ini artinya masyarakat memiliki kecenderungan ideologi pro pada intervensi negara dalam hal kesejahteraan rakyat.
“Secara umum, data ini menunjukkan masyarakat menginginkan agar negara lebih banyak berperan untuk kesejahteraan masyarakat. Cukup kiri jika menggunakan istilah di Amerika atau sosialis dalam istilah Eropa.” kata Saiful.