search

Berita

david nuttpenggunaan ganja di indonesiapsikiatri inggris

Psikiatri Asal Inggris Tegaskan Ganja Aman, David Nutt : Pelarangan tak berpengaruh pada angka penyalahgunaan

Penulis: Jeri Rahmadani
Selasa, 31 Agustus 2021 | 1.876 views
Psikiatri Asal Inggris Tegaskan Ganja Aman, David Nutt : Pelarangan tak berpengaruh pada angka penyalahgunaan
Pskiatri dan Guru Besar Neuropsychopharmacology dari Imperial College London Inggris, David Nutt, saat memaparkan manfaat ganja medis di hadapan Majelis Hakim, Senin 30 Agustus 2021 secara virtual (istimewa)

Samarinda, Presisi.co – Psikiatri dan Guru Besar Neuropsychopharmacology dari Imperial College London, Inggris, David Nutt menyatakan tanaman ganja untuk kebutuhan medis terbukti aman digunakan.

Hal tersebut diungkapkannya dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan ahli dan pemohon, yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI) pada, Senin 30 Agustus 2021 secara virtual.

David Nutt memaparkan, bahwa banyak negara yang sudah memanfaatkan ganja untuk kepentingan kesehatan selama 5.000 tahun. Di Inggris sendiri, kata dia, ganja dapat diresepkan oleh dokter sepanjang ada bukti jelas mengenai keamanan dan efektivitas dari penggunaan ganja untuk kondisi pasien tersebut.

"THC dan CBD sama-sama memiliki manfaat medis, walaupun THC dalam kadar tertentu memiliki dampak psikoaktif bagi penggunanya. Di sisi lain, CBD sama sekali tidak memiliki dampak psikoaktif," ujar David dalam sidang yang disiarkan secara virtual, Senin 30 Agustus 2021 melal.

Meski demikian, dijelaskannya tetap saja THC memiliki manfaat medis yang paling baik jika dibandingkan dengan zat lain seperti metadhone, duloxetine, atau tremadol. Serta secara umum masih lebih aman dibandingkan zat lainnya, kecuali ibuprofen.

Menurutnya, pengobatan pasien dengan sindrom kejang, seperti epilepsi misalnya, dengan menggunakan produk obat berbasis cannabis – genus tanaman ganja – juga terbukti memberikan hasil yang baik secara signifikan.

"Dan ini juga berlaku bagi kondisi cerebral palsy yang dimiliki oleh anak-anak dari para pemohon," lanjutnya.

Disinggung mengenai adanya kekhawatiran negara akan potensi penyalahgunaan, David menekankan bahwa pelarangan tidak akan berpengaruh pada angka penyalahgunaan narkotika. Tak terkecuali di Indonesia.

"Isu utama dalam pemanfaatan ganja adalah pengobatan, sehingga cara yang paling tepat adalah memberdayakan para dokter untuk memanfaatkan obat-obatan yang ada, termasuk ganja, secara benar," bebernya.

Selain itu, David mengatakan risiko adiksi bagi pengguna ganja untuk kesehatan juga sangat rendah, karena pasien menggunakan ganja murni untuk kebutuhan medis dan sama sekali tidak ada keinginan untuk “high” yang masih dinilai penyalahgunaan.

"Intinya, pemanfaatan ganja medis tepat dilakukan sesuai dengan keahlian dan pengetahuan ilmiah berdasarkan penelitian," imbuhnya.

Seperti diketahui, David Nutt sendiri telah menuliskan lebih dari 500 jurnal dan artikel ilmiah, serta buku atau literatur melalui penelitian klinis terkait bahaya kandungan obat-obatan narkotika. Termasuk, respon kebijakan yang juga telah dirujuk berbagai pemerintah seperti di Amerika Serikat, Finlandia, Norwegia, Belanda, New Zealand, dan beberapa negara lainnya.

Diberitakan sebelumnya, permohonan uji materi revisi undang-undang (UU) nomor 35/2009 tentang Narkotika, diajukan oleh tiga ibu dari anak-anak mereka yang menderita cerebral palsy yang menginginkan adanya pengobatan dengan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja), sebagaimana telah berkembang di dunia. Mereka adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti.

Terapi Dupa Ganja di Australia untuk Anak Tercinta

Dilansir dari mkri.id, pada sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu 16 Desember 2020, para pemohon mendalilkan tiga pemohon perseorangan merupakan para ibu dari anak yang menderita cerebral palsy.

Salah satu pemohon, Dwi Pertiwi, pernah memberikan terapi dupa ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita cerebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 lalu.

Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika. Begitu pula dengan dua ibu lainnya yang menjadi pemohon.

Adanya larangan tersebut secara jelas, menghalangi pemohon mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak pemohon. (*)

Editor: Rizna

Baca Juga