Akademisi Sebut Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja Tak Sesuai Konstitusi
Penulis: Redaksi Presisi
Rabu, 07 Oktober 2020 | 1.007 views
Presisi.co - Sejumlah Guru Besar, Dekan dan Dosen dari 67 Perguruan Tinggi se-Indonesia tegas menolah disahkannya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, oleh DPR-RI pada Senin (5/10/2020) lalu.
Lewat konferensi pers virtual, Rabu (7/10/2020) siang yang dihadiri hingga ratusan partisipan se-Indonesia itu, pengesaha UU Cipta Kerja justru dianggap menyisahkan kegundahan akademik.
Omnibus Law Cipta Kerja dianggap tidak memenuhi prosedur pembentukan sesuai mekanisme UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengesahan UU Cipta Kerja yang dinilai tergesa-gesa ini juga dianggap merusak nilai-nilai pancasila dan konstitusi sebagai sendi kehidupan bernegara.
Pakar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Prof Maria Sumardjono menyebut untuk membatalkan UU Cipta Kerja ini, para akademisi dan pakar hukum harus segera menyiapkan unsur formil dan materiil penolakan UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
"Terpenting, pengawalan untuk menolak UU Cipta Kerja ini jangan sampai putus. Agar tak ada yang melanggar konstitusi dan prinsip dasar bernegara," katanya.
Ia menambahkan, pembahasan UU Cipta Kerja ini sendiri tak melibatkan partisipasi publik. Akibatnya, penolakan terhadap UU Cipta Kerja ini marak disuarakan serentak se-Indonesia. Tak hanya melanggar konstitusi, pengesahan UU Cipta Kerja juga dinilai mengabaikan reforma agraria.
"Karena dari segi substansinya dari sisi pertanahan nyata sekali rumusan UU Ciptaker itu bias kepentingan pengusaha," terangnya.
Hal senada turut disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Andri Wibisana. Ia menyebut, ada sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja yang dianggap tak sesuai dengan hukum lingkungan, utamanya terkait usaha berisiko tinggi yang diatur dalam Permen LH Nomor 3 Tahun 2013, yang di dalam UU Cipta Kerja tak dijelaskan sama sekali.
"Definisinya sendiri itu tidak jelas. Kita harus pahami, ini ukurannya bukan soal pure science, ini adalah policy pada ujungnya. Berbahayanya, ketika ini pure science, pintu pendapat publik itu justru ditutup," pungkasnya.