search

Berita

Soeharto pahlawan nasionalSoehartoMedia asingkontroversi SoehartoOrde Baru

Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Tuai Kecaman dari Media Asing

Penulis: Rafika
2 jam yang lalu | 0 views
Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Tuai Kecaman dari Media Asing
Keluarga Presiden ke-2 RI, Soeharto, berfoto usai penganugerahan gelar pahlawan nasional. (Instagram/@titieksoeharto)

Presisi.co - Keputusan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional secara anumerta kepada Soeharto memicu gelombang kontroversi di dalam negeri dan menjadi sorotan tajam media internasional.

Berbagai media asing tak hanya melaporkan penganugerahan tersebut, tetapi juga kembali menyoroti sisi kelam masa kekuasaan jenderal yang memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dekade itu.

Salah satunya, CNN International menurunkan laporan dengan judul tajam: “He was a US-backed dictator who led sweeping massacres. Why is he now being named a national hero?”

Dalam bahasa Indonesia: “Dia adalah seorang diktator yang didukung AS dan memimpin pembantaian besar-besaran. Mengapa kini dia dinobatkan sebagai pahlawan nasional?”

Dilansir dari Suara.com, media asing secara kompak mengingatkan kembali pada warisan kelam sosok yang selama puluhan tahun dikenal sebagai sekutu penting Amerika Serikat di Asia Tenggara tersebut.

Rezimnya dikaitkan dengan pembantaian massal berdarah pada era Perang Dingin, serta praktik korupsi sistemik yang memperkaya keluarga Cendana dan para kroni politiknya.

Langkah penganugerahan gelar pada Senin lalu pun dinilai sarat ironi. Apalagi, upacara penganugerahan gelar itu dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo yang notabenenya adalah mantan menantu Soeharto.

Pemberian gelar ini dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto—mantan menantu Soeharto, yang juga merupakan figur kontroversial dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia saat masih berseragam militer.

Prabowo sendiri bukan sosok tanpa kontroversi. Sebelum terjun ke politik, ia adalah perwira militer dengan rekam jejak panjang tuduhan pelanggaran HAM, termasuk dalam operasi di Timor Timur dan penculikan aktivis 1998. Namun, tuduhan itu hingga kini ia bantah.

Warisan Berdarah 1965 Kembali Dibuka

Sorotan media internasional juga kembali tertuju pada tragedi 1965, titik awal kekuasaan Soeharto. Setelah kudeta gagal dan pembunuhan sejumlah jenderal, Soeharto menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melancarkan operasi besar-besaran yang berujung pada pembunuhan ratusan ribu orang.

Sejarawan memperkirakan antara 500.000 hingga satu juta korban jiwa tewas dalam pembersihan anti-komunis yang dipimpin militer.

Dokumen rahasia yang dirilis pada 2017 bahkan menunjukkan bahwa Amerika Serikat turut memberikan dukungan, termasuk daftar nama anggota PKI, dana, dan peralatan kepada tentara Indonesia.

Banyak peneliti menyebut, target pembersihan kala itu tidak hanya komunis, tetapi juga etnis Tionghoa dan siapa pun yang dianggap berhaluan kiri.

Pada 2016, sebuah pengadilan rakyat di Den Haag menyatakan AS, Inggris, dan Australia ikut terlibat dalam kejahatan kemanusiaan atas pembunuhan massal tersebut.

Pujian Ekonomi, Tuduhan Korupsi

Meski rezim Soeharto sering dipuji karena berhasil menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi, banyak pihak menilai keberhasilan itu dibayar mahal dengan pembungkaman politik dan korupsi besar-besaran.

Laporan-laporan internasional menyebut, selama berkuasa 31 tahun, Soeharto menindas oposisi, mengontrol media, dan menguasai lembaga negara. Ia juga dituduh menguras uang negara untuk memperkaya keluarga dan kroninya.

Kekuasaan Soeharto runtuh pada 1998, ketika krisis finansial Asia mengguncang Indonesia dan memicu demonstrasi besar-besaran hingga akhirnya ia mundur.

Sarat Kepentingan

Kedekatan pribadi Prabowo dengan Soeharto membuat langkah penganugerahan ini dinilai banyak pihak sarat kepentingan simbolik.

Prabowo pernah menjadi bagian dari keluarga Cendana setelah menikahi putri Soeharto pada tahun 1983, meskipun mereka bercerai setelah Soeharto lengser.

Prabowo juga seorang komandan militer di era Soeharto dan bertugas dalam kampanye kontroversial di Papua Barat dan Timor Timur.

Ia dituduh menculik aktivis selama protes massal 1998 yang menyebabkan kejatuhan Soeharto, tuduhan yang selalu ia sangkal.

"Kini, sebagai presiden, keputusannya dianggap berisiko memundurkan kemajuan demokrasi yang diraih sejak era otoritarianisme," demikian tertulis dalam artikel CNN Internasional.

Kelompok masyarakat sipil dan aktivis HAM menilai keputusan itu sebagai upaya menulis ulang sejarah.

Amnesty International menyebut penganugerahan ini sebagai bentuk “pemutihan terhadap pelanggaran HAM masa lalu.”

Andreas Harsono dari Human Rights Watch juga mengecam keputusan pemerintah. Menurutnya, hal ini merupakan konsekuensi dari kegagalan menegakkan akuntabilitas terhadap Soeharto dan para jenderalnya yang kejam.

"Kegagalan meminta pertanggungjawaban (Soeharto) dan para jenderalnya yang kejam memfasilitasi pemutihan dan distorsi sejarah yang kini terjadi di bawah kepemimpinan Prabowo," tulisnya dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, para penyintas tragedi 1965 merasa keputusan tersebut membuka kembali luka lama.

“Saya terkejut, kecewa, dan marah dengan keputusan absurd pemerintah ini,” kata Bedjo Untung, penyintas yang dipenjara tanpa pengadilan selama hampir satu dekade karena dituduh komunis.

“Rasanya sangat tidak adil. Kami masih hidup dengan trauma itu sampai hari ini,” ujarnya kepada Associated Press. (*)

Editor: Redaksi