Bedah Buku Jejak Edi Damansyah dalam Politik Elektoral: Dipilih Mayoritas, Dibatalkan MK
Penulis: Akmal Fadhil
12 jam yang lalu | 101 views
Suasana saat bedah buku Bedah Buku Jejak Edi Damansyah dalam Politik Elektoral: Dipilih Mayoritas, Dibatalkan MK. (Presisi.co/Akmal)
Samarinda, Presisi.co – Sengketa Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) yang menyeret nama Edi Damansyah hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK), menjadi inspirasi dua akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman untuk menulis buku berjudul Jejak Edi Damansyah dalam Politik Elektoral: Dipilih Mayoritas, Dibatalkan MK.
Buku ini dibedah dalam seminar yang digelar di Integrated LAB Unmul, Selasa 9 September 2025 dan menyoroti kekosongan hukum terkait periodisasi kepala daerah yang naik jabatan di tengah jalan.
“Buku ini bukan pembelaan terhadap diskualifikasi Edi Damansyah, tapi upaya akademik untuk menyoroti ruang kosong dalam regulasi yang saat ini justru berujung tafsir konstitusional,” ujar Herdiansyah Hamzah, penulis buku sekaligus dosen FH Unmul.
Putusan MK dalam perkara sengketa Pilkada Kukar bernomor 195/PHPU.BUP-XXIII/2025 menjadi sorotan utama. MK menyatakan masa jabatan kepala daerah dihitung sejak secara faktual menjalankan tugas, bukan sejak pelantikan. Hal ini berbeda dengan tafsir umum yang berlaku selama ini dalam Undang-Undang Pilkada dan Pemerintahan Daerah.
“Pertanyaannya sederhana: kapan masa jabatan dihitung? Pelantikan hanya seremoni, sedangkan kekuasaan sejatinya berpindah saat tugas dijalankan,” tambah Herdiansyah yang akrab disapa Castro.
Edi Damansyah yang hadir dalam peluncuran buku menjelaskan dinamika pencalonannya pada Pilkada 2024.
Ia mengklaim telah mengikuti seluruh proses sesuai aturan yang ditetapkan KPU. Bahkan sengketa ke Bawaslu, PTUN, dan Mahkamah Agung sebelumnya memutuskan bahwa pencalonannya sah.
Namun dalam sengketa di MK, pencalonan Edi dibatalkan dengan alasan telah menjabat dua periode, meski awalnya menggantikan Bupati sebelumnya yang tersangkut kasus hukum.
“Pemungutan suara sudah digelar, saya menang dengan dukungan 68,5 persen suara. Tapi gugatan ke MK akhirnya menyatakan saya sudah dua periode,” jelas Edi.
Co-penulis buku, Orin Gusta Andini, menambahkan bahwa diskursus ini penting untuk mendorong perbaikan regulasi.
Kekosongan hukum soal kepala daerah yang naik jabatan di tengah jalan harus segera diisi agar tidak terus bergantung pada tafsir MK.
Herdiansyah menyebut, wacana pencalonan istri Edi Damansyah sempat muncul namun ditolak sendiri oleh Edi demi menjaga demokrasi.
Mengutip riset dari London School of Economics, Herdiansyah menyebut politik dinasti kerap berkelindan dengan praktik korupsi.
“Check and balances tidak mungkin berjalan jika kekuasaan hanya berputar di lingkaran keluarga,” ujarnya.
Herdiansyah berharap, buku ini dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan serta pemantik diskusi di kalangan akademisi.
“Kita perlu kepastian hukum, agar pelantikan tidak jadi sumber polemik konstitusional,” tutupnya.