Pengamat Hukum Desak Transpransi Prosedur Penangkapan Mahasiswa di Kampus FKIP UNMUL
Penulis: Redaksi Presisi
13 jam yang lalu | 78 views
Herdiansyah Hamzah atau Castro pengamat Hukum Unmul. (Istimewa)
Samarinda, Presisi.co – Penangkapan 22 mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda di Kampus FKIP, Minggu malam 31 Agustus 2025, terus menuai sorotan.
Pengamat hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah, meminta kepolisian menguraikan secara transparan seluruh prosedur hingga substansi penanganan kasus, agar tidak menimbulkan dugaan pelanggaran prinsip hukum dan otonomi akademik.
Aparat Polresta Samarinda sebelumnya mengamankan mahasiswa di kampus Jalan Banggeris, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai Kunjang, sekitar pukul 23.30 Wita, sehari sebelum aksi demonstrasi “Kaltim Menggugat” digelar di DPRD Kaltim, Senin 1 September 2025.
Dalam penggerebekan tersebut, polisi menyita 27 bom molotov, sejumlah bahan bakar jenis pertalite, potongan kain, serta lukisan bergambar logo Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut-sebut sebagai bagian dari alat bantu pembelajaran mahasiswa jurusan sejarah.
Dari total 22 mahasiswa yang diamankan, 18 telah dipulangkan, sementara 4 orang kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan perakitan bom molotov.
Kampus Zona Netral, Masuknya Aparat Perlu Dasar Hukum Jelas
Castro sapaan akrab Herdiansyah menyoroti bahwa kampus merupakan ruang akademik yang secara hukum dilindungi sebagai zona netral.
Ia mengingatkan bahwa tindakan aparat penegak hukum di lingkungan perguruan tinggi harus mematuhi prinsip otonomi akademik sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta UUD 1945 Pasal 28 tentang kebebasan berpendapat dan berserikat.
“Silakan saja pihak kepolisian bertindak, tetapi seluruh proses mulai dari prosedur hingga substansi penanganan harus dijelaskan secara utuh. Jangan sampai langkah hukum ini menjadi cacat secara formil maupun materiil,” tegas Castro, Selasa 2 September 2025.
Ia juga mengkritisi kurangnya informasi soal kemungkinan aktor lain yang disebut-sebut turut menyuplai bahan bom molotov, namun belum dimintai keterangan.
“Jangan buru-buru menyimpulkan bahwa 4 mahasiswa itu pelaku utamanya. Kalau ada pihak lain yang diduga menyuplai bahan, ya seharusnya ditelusuri juga,” tambahnya.
Framing Logo PKI Dianggap Menyimpang dari Substansi Kasus
Castro juga menyesalkan tindakan kepolisian yang dalam konferensi pers justru menyoroti keberadaan lukisan bergambar PKI, ketimbang fokus pada kasus dugaan perakitan bom molotov. Ia menyebut hal itu sebagai bentuk framing yang keliru dan bisa merusak citra mahasiswa sejarah.
“Lukisan itu properti untuk pembelajaran sejarah. Di sana bukan cuma gambar PKI, tapi juga partai-partai lain seperti PNI dan Masyumi. Jadi kalau konteksnya bom molotov, ya fokus saja pada itu. Jangan digiring seolah-olah ada isu komunisme,” jelasnya.
Menurut Castro, langkah seperti ini bisa mencederai objektivitas penegakan hukum dan membangun stigma negatif yang tidak berdasar terhadap komunitas akademik.
“Framing seperti ini memperkeruh suasana dan justru menjauhkan publik dari substansi perkara. Jangan sampai proses hukum kehilangan keadilan karena narasi yang dibangun menyimpang dari fakta,” tegasnya. (*)
Editor: Redaksi
Pesan Redaksi: Demonstrasi merupakan hak warga negara dalam berdemokrasi. Untuk kepentingan bersama, sebaiknya demonstrasi dilakukan secara damai tanpa aksi penjarahan dan perusakan fasilitas publik.