Hetifah: Pendidikan Inklusif Wujud Keadilan, Bukan Belas Kasihan
Penulis: Akmal Fadhil
5 jam yang lalu | 0 views
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian. (Presisi.co/Akmal)
Samarinda, Presisi.co – Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan bentuk nyata keadilan dan kemanusiaan.
Hal ini disampaikannya saat kegiatan Inovasi dalam Pendidikan Inklusif: Teknologi dan Metode untuk Mendukung Siswa Disabilitas di Samarinda, yang digelar bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Setiap anak berhak berkembang secara utuh. Inklusivitas bukan belas kasihan, tapi keadilan. Kita harus pastikan teknologi dan inovasi menjangkau semua kalangan, termasuk siswa disabilitas,” tegas Hetifah Selasa 12 Juli 2025.
Hetifah menyatakan bahwa Komisi X DPR RI akan terus mendorong regulasi dan kebijakan pendidikan yang lebih ramah terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas.
Ia menyoroti pentingnya peran teknologi digital dalam mewujudkan inklusivitas di ruang kelas.
“Transformasi digital harus membawa manfaat untuk semua. Inovasi seperti screen reader untuk tunanetra, speech-to-text untuk tunarungu, hingga aplikasi komunikasi alternatif (AAC) bagi siswa non-verbal, harus kita dorong agar tersedia secara merata di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hetifah juga mengingatkan bahwa inklusi berarti memberi ruang yang sama bagi anak-anak disabilitas untuk terlibat aktif dalam proses pendidikan, bukan sekadar sebagai peserta pasif.
Hetifah kembali mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersatu dalam membangun sistem pendidikan nasional yang benar-benar inklusif.
“Komisi X DPR RI berkomitmen menjadikan pendidikan inklusif sebagai perhatian khusus dalam pembangunan SDM nasional. Mari kita bergerak bersama, menjadikan Indonesia benar-benar ramah untuk semua,” tuturnya.
Ia juga melibatkan berbagai pihak, termasuk BRIDA Kaltim, BRIN, dan organisasi penyandang disabilitas.
Kepala BRIDA Kaltim, Fitriansyah, menuturkan bahwa pihaknya telah melakukan sejumlah penelitian terkait pendidikan inklusif dan ketenagakerjaan penyandang disabilitas.
Sementara itu, peneliti BRIN, Yeni Yulianti, menekankan peran penting Guru Pembimbing Khusus (GPK) sebagai ujung tombak keberhasilan inklusi.
“Tanpa kesadaran dan kompetensi guru dalam menghadapi kebutuhan disabilitas, proses belajar tidak akan maksimal,” ujarnya.
Farah Flamboyan, praktisi pendidikan anak berkebutuhan khusus, menambahkan bahwa teknologi tak hanya alat bantu, tapi juga sarana pemberdayaan.
“Dengan alat seperti media sosial dan aplikasi gambar digital, anak menjadi lebih percaya diri dan mandiri,” tutupnya.