Mengisi Kekosongan Guru di 3T Prioritas yang Terlupakan
Penulis:
16 jam yang lalu | 72 views
Ahmad Budidarma
Presisi.co - Wacana peningkatan kualitas guru melalui pelatihan dan sertifikasi kerap menjadi fokus utama kebijakan pendidikan nasional. Namun, di tengah gencarnya pembaruan kurikulum dan integrasi teknologi dalam pembelajaran, satu realitas krusial sering kali terabaikan; di banyak wilayah khusus atau 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), keberadaan guru saja masih menjadi persoalan mendasar.
Berbekal hasil evaluasi kebijakan Program Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM3T) yang saya lakukan di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, tampak jelas bahwa kekurangan guru bukan sekadar narasi keluhan, tapi fakta lapangan yang nyata. Anambas, yang terletak strategis di kawasan Laut Natuna Utara, masih kekurangan ratusan guru aparatur sipil negara (ASN). Ketiadaan guru bukan hanya terjadi pada mata pelajaran eksakta atau vokasi, tetapi juga menyangkut pendidikan agama, seni budaya, hingga olahraga.
Program SM3T, yang sempat diandalkan sebagai solusi transisi, terbukti mampu mengisi kekosongan guru selama periode singkat. Lulusan sarjana pendidikan yang dikirim ke wilayah-wilayah pelosok ini tak hanya mengajar, tetapi juga menghidupkan ekosistem pendidikan melalui kegiatan budaya dan literasi. Namun, penghentian program ini pada 2017 membuat banyak sekolah kembali kekurangan tenaga pengajar. Dampaknya langsung terasa; siswa belajar tanpa kepastian guru, dan sekolah kehilangan daya hidupnya.
Peran strategis
Kesalahan terbesar dalam menyusun prioritas kebijakan adalah memulai dari peningkatan kompetensi, tanpa memastikan bahwa guru telah tersedia secara kuantitatif. Apa gunanya modul pelatihan digital dan kurikulum visioner jika di ruang kelas tidak ada guru yang mengajar? Transformasi pendidikan mustahil tanpa kehadiran guru di setiap ruang belajar.
Wilayah 3T sejatinya bukan hanya kawasan pendidikan, tapi juga arena hadirnya negara secara nyata. Di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain, guru memegang peran strategis dalam menjaga identitas bangsa. Mereka bukan sekadar pendidik, tapi juga agen ketahanan sosial yang mampu mendeteksi potensi masalah seperti peredaran narkoba, kekerasan terhadap anak, hingga infiltrasi ideologi ekstrem.
Oleh karena itu, pemenuhan guru di daerah 3T bukan semata tanggung jawab Kementerian Pendidikan, melainkan kewajiban negara. Masalahnya, sistem rekrutmen guru saat ini masih cenderung satu pola untuk semua wilayah. Proses seleksi yang terlalu administratif dan sentralistik menyebabkan banyak daerah khusus tidak terlayani secara optimal.
Padahal, medan geografis dan karakteristik sosial budaya di daerah 3T sangat berbeda dibanding wilayah perkotaan. Bahkan ketika formasi tersedia, pelamar lebih memilih lokasi strategis karena alasan kenyamanan hidup dan karier.
Sebagai solusi nyata jangka pendek yang berdampak langsung, perlu dirancang kembali kebijakan serupa Program SM3T yang bersifat temporer namun terstruktur dan berkelanjutan. Skema semacam ini terbukti mampu menjawab kekosongan guru secara cepat, khususnya di daerah yang sulit terjangkau oleh skema rekrutmen reguler. Dengan pendekatan penugasan khusus bagi lulusan pendidikan guru ke wilayah 3T selama periode tertentu, negara dapat menjamin tidak ada ruang kelas yang kosong.
Penguatan putra daerah
Agar lebih efektif, program ini harus memiliki sistem rotasi, insentif terukur, dan jaminan karier lanjutan, sehingga keberlanjutan dan ketertarikan peserta tetap terjaga. Jangan sampai ada sekolah di daerah terpencil yang dibiarkan tanpa guru hanya karena mekanisme seleksi formal tak mampu menjangkaunya, insentif berbasis lokasi dan jaminan pengembangan karier perlu diperkuat agar guru tertarik dan bertahan di lokasi tugas.
Tak kalah penting, penguatan putra daerah sebagai calon guru adalah investasi jangka panjang. Banyak lulusan SMA di wilayah 3T yang punya semangat menjadi guru, tetapi terhambat akses pendidikan tinggi. LPTK perlu membuka akses pendidikan guru berbasis komunitas di wilayah tersebut. Bahkan perlu dipikirkan skema 'akademi guru nusantara' — program seleksi dini bagi anak-anak dari daerah 3T untuk diproyeksikan menjadi guru yang akan kembali mengabdi ke tanah kelahirannya.
Kita juga perlu jujur mengevaluasi kerangka regulasi yang ada. Misalnya, PP 19 Tahun 2017, sebagai perubahan atas PP 74 Tahun 2008 tentang Guru menetapkan bahwa guru di daerah khusus hanya boleh mengajukan pindah setelah 10 tahun bertugas. Sementara guru di wilayah umum memiliki kelonggaran yang lebih besar. Ketimpangan ini menciptakan disparitas yang kontraproduktif terhadap semangat pemerataan.
Di atas semua itu, kita harus mengakui satu kebenaran sederhana; tidak akan pernah ada kualitas pendidikan tanpa ketersediaan guru. Pemenuhan jumlah guru adalah fondasi dari semua transformasi. Terlalu dini membicarakan kompetensi jika ruang kelas masih kosong. Terlalu naif merancang kurikulum progresif jika siswa di perbatasan tidak punya guru agama atau matematika.
Pemerataan guru bukan sekadar soal pendidikan— ia adalah soal keadilan sosial dan integritas negara. Kini saatnya negara menyusun ulang prioritas. Penuhi dulu kebutuhan guru di daerah 3T. Setelah itu, baru bicara soal peningkatan mutu, teknologi pendidikan, atau kecerdasan buatan. Sebab, tanpa guru, tak ada generasi yang bisa dididik. Tanpa pemerataan, keadilan hanya akan jadi slogan.
Ahmad Budidarma
Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Peneliti Evaluasi Kebijakan Program SM3T di Kabupaten Kepulauan Anambas.