search

Berita

Simon TahamataRMSRepublik Maluku SelatanDirtek Timnas IndonesiaPSSITimnas Indonesiaprofil Simon Tahamata

Mengenal Sosok Simon Tahamata, Calon Dirtek Timnas Indonesia yang Bersimpati dengan RMS

Penulis: Rafika
3 jam yang lalu | 0 views
Mengenal Sosok Simon Tahamata, Calon Dirtek Timnas Indonesia yang Bersimpati dengan RMS
Potret Simon Tahamata. (Instagram/@afcajax)

Presisi.co - Nama Simon Tahamata kembali perhatian publik Tanah Air setelah santer dikabarkan akan mengisi posisi Direktur Teknik (Dirtek) Timnas Indonesia. 

Isu ini mencuat setelah eks pemain Ajax Amsterdam tersebut diketahui mengikuti akun Instagram Ketua Umum PSSI, Erick Thohir.

Namun, siapa sebenarnya Simon Tahamata?

Simon Melkianus Tahamata lahir di Belanda pada 26 Mei 1956. Ia memiliki garis keturunan Maluku dari ayahnya, Lambert Tahamata.

Simon Tahamata lahir di barak Vught, sebuah tempat penampungan yang disediakan pemerintah Belanda bagi warga Maluku yang bermigrasi setelah peristiwa aksi Republik Maluku Selatan (RMS).

"Saya lahir di barak Vught. Ketika saya 5 tahun, keluargaku pindah ke kawasan Tiel, Diderik Vijghstraat, yang waktu itu merupakan pinggiran desa," kata Simon kepada salah satu media Belanda, AD.nl pada 11 Juni 2017, sebagaimana diberitakan Suara.com.

Sejak kecil, Simon tumbuh dalam keluarga besar yang memiliki hubungan erat dengan sejarah Maluku. Ayahnya, Lambert Tahamata, adalah mantan prajurit KNIL. Sementara ibunya bernama Octovina Leatemia.

"Ayah saya Lambert adalah prajurit KNIL. Lelaki yang sangat tegas. Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat manis. Ia mesin keluarga. Ada 12 anak di rumah kami," ungkap Simon.

Lahir sebagai putra dari seorang ayah berdarah Maluku membuat Simon Tahamata tumbuh menjadi pribadi yang bersimpati dengan gerakan RMS.

Simon mengungkapkan ada berbagai alasan yang membuatnya bersimpati terhadap gerakan yang oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai tindakan separatis. Salah satu faktor utamanya adalah sejarah sang ayah yang pernah menjadi prajurit KNIL.

Komunitas Maluku yang bermigrasi ke Belanda tetap mempertahankan perjuangan mereka untuk menjaga eksistensi RMS di tanah pengasingan. Simon sendiri mengaku mulai bersimpati terhadap gerakan ini pada usia 19 tahun.

"Saya harus tunjukkan latar belakang Maluku saya pada 1977. Sebelumnya banyak orang mengira saya orang Suriname," ungkapnya.

"Saya merasa saya harus bersuara. Sejarah kita, nasib orang Maluku, masih belum atau hampir tidak disebutkan dalam buku sejarah Belanda. Ini adalah halaman gelap yang lebih baik ditinggalkan. Itulah sebabnya saya terus menceritakan kisah itu, bahkan 40 tahun kemudian," ujarnya.

Meski peduli terhadap perjuangan RMS, Simon tidak setuju dengan aktivis-aktivis pro RMS yang kerap penggunaan kekerasan untuk menyampaikan aspirasi mereka. Baginya, tindakan semacam itu hanya akan menyebabkan jatuhnya korban dari kalangan orang yang tidak bersalah.

"Sejumlah aktivis menggunakan kekerasan dan korban yang tidak bersalah terbunuh. Itu sangat buruk. Saya pun memahami betul bahwa para penyintas masa lalu itu kini kesulitan untuk didengarkan," ucapnya.

Menurutnya, masa depan perjuangan gerakan RMS bergantung pada kesiapan generasi muda. Menurutnya, pengetahuan sejarah, keterampilan, dan kualitas menjadi bekal penting untuk memperjuangkan kemerdekaan.

"Hanya Dia (Tuhan) yang tahu kapan impian RMS akan menjadi kenyataan. Saya harus tetap percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun aku mungkin tidak mengalaminya seumur hidupku. Untuk generasi ketiga dan keempat Maluku harus bisa memastikan bahwa mereka siap untuk menjadi negara. Jadi penting bagi mereka untuk dibesarkan dengan kualitas dan kemampuan bagus," ungkap Simon Tahamata.

Selain itu, Simon juga pernah mengkritik pemerintah Belanda yang dianggapnya telah mengabaikan orang-orang Maluku yang dahulu berjuang demi negara tersebut.

"Bagaimana pemerintah Belanda memperlakukan ayah kami. Orang-orang itu berjuang demi bendera Belanda, banyak yang berkorban nyawa, tapi kemudian kami dikhianati," kata Simon. (*)

Editor: Rafika