search

Daerah

Calon Wakil Wali Kota Samarindasamarinda seberangKota SatelitAgus Tri Sutanto

Asa Menyiapkan Samarinda Seberang jadi Kota Satelit

Penulis: Rafika
Rabu, 26 Juni 2024 | 670 views
Asa Menyiapkan Samarinda Seberang jadi Kota Satelit
Bakal calon wakil wali kota, Agus Tri Sutanto. (Ist)

Samarinda, Presisi.co - Salah satu bakal calon wakil wali kota, Agus Tri Sutanto, mengusulkan Kecamatan Samarinda Seberang dikembangkan menjadi kota satelit yang akan menunjang kebutuhan Kota Samarinda dan sekitarnya.

Hal itu disampaikan Agus saat menanggapi pertanyaan terkait isu Daerah Otonomi Baru (DOB) Samarinda Seberang dalam diskusi politik bertajuk “Siapa Bakal Calon Wakil Wali Kota Layak Dampingi Andi Harun” yang digelar di Setiap Hari Kopi, Jalan Ir. Juanda, Samarinda, Sabtu (22/6/2024) malam.

Alih-alih menjadi DOB, Sekretaris DPRD Samarinda itu lebih setuju jika Samarinda Seberang dan sekitarnya disiapkan menjadi kota satelit.

“Di mana kemudian Samarinda Seberang sampai Palaran dan Bantuas dibangun sebagai downtown yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya,” papar Agus.

Sebab, ia menilai syarat-syarat dan proses pembahasan untuk melahirkan suatu DOB cukup rumit dan memakan banyak waktu.

“Zaman sekarang di pusat pembahasannya terlampau lama dan peraturan perundang-undangan yang mengatur itu terlalu sulit untuk diterapkan,” ujar pria kelahiran 1968 ini.

Wacana pembentukan kota satelit di Samarinda ini sebenarnya bukan hal yang baru. Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda sendiri pada tahun 2023 lalu telah menyiapkan Kecamatan Palaran untuk dikembangkan menjadi kota satelit.


Lantas, apa itu kota satelit?

Kota satelit, menurut Kamus Tata Ruang yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (1997), adalah kota yang terletak di pinggir atau berdekatan dengan kota besar, yang secara ekonomi, sosial, administrasi dan politik tergantung pada kota besar itu.

Artinya, kota satelit memiliki hubungan yang erat dengan kota besar yang menjadi induknya.

Menurut Schnore (2006) dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Buku 2 Pengalaman Pembangunan Perkotaan di Indonesia, kota satelit merupakan pusat-pusat kecil dibidang industri yang berfungsi sebagai kota produksi. Faktor inilah yang menjadikan kota satelit sebagai daerah yang menjadi pemasok daya dukung bagi kehidupan kota besar di sekitarnya.

Kota satelit terbentuk akibat perkembangan yang terjadi di dalam inti kota. Kota satelit dirancang untuk membantu perluasan kota secara efektif. Tujuan utama kota satelit adalah menawarkan keseimbangan antara sumber daya dan populasi.

Kota satelit bukanlah bagian dari wilayah metropolitan besar dari kota besar yang letaknya berdekatan, tetapi kota besar di dekat kota satelit pasti mempunyai pengaruh terhadap kota satelitnya. Oleh sebab itu, mayoritas penduduk kota satelit masih bergantung dengan kehidupan di kota induk.

Contoh kota satelit dari Jakarta adalah Bekasi, Depok, Tangerang, dan Tangerang Selatan. Sementara Gresik, Bangkalan, Lamongan, Mojokerto, dan Sidoarjo adalah kota satelit dari Surabaya. Adapun Cimahi, Soreang, Ngamprah, dan Jatinangor adalah kota satelit dari Bandung.

Hal yang perlu digarisbawahi dari pembentukan kota satelit adalah rawan terciptanya kesenjangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan.

Sebuah prosiding nasional berjudul “Analisis Fenomena Kesenjangan Ekonomi Kota Satelit Citraland Surabaya dengan Kawasan Sekitarnya” yang diterbitkan pada Februari 2023, menemukan adanya kesenjangan ekonomi kawasan Citraland Surabaya dengan kawasan sekitar yang berbatasan langsung seperti Kecamatan Lakarsantri, Pakal dan lainnya karena perbedaan pendapatan penduduk.

Hal ini disebabkan karena profesi penduduk yang berbeda, di mana penduduk Citraland rata-rata adalah pengusaha skala besar sedangkan penduduk di kawasan sekitarnya rata-rata pedagang kecil, karyawan dan/atau buruh pabrik.

Sementara itu, pakar kebijakan publik sekaligus pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung, menyebutkan bahwa ketimpangan pembangunan di Depok berujung pada rendahnya pendapatan per kapita.

"Perbandingan antara APBD-nya, per kapita di Depok itu Rp 1 juta per orang, di DKI Rp 7 juta per orang, jadi jomplang," ujar Lisman, dikutip dari Kompas.com, Rabu (26/6/2024).

Rendahnya APBD per kapita di Depok juga mempengaruhi kesejahteraan warga. Banyak warga Depok tidak mendapatkan pendidikan memadai hingga akhirnya harus menganggur.

Lisman menambahkan, keterbatasan biaya untuk mengembangkan infrastruktur membuat kepadatan penduduk juga tidak merata.

Ia menyebut cukup sulit untuk mengubah Depok menjadi kota industri untuk meningkatkan pendapatan, karena kota tersebut jauh dari pelabuhan dan tidak memiliki lapangan terbang.

"Dari segi kebijakan memang tidak diperuntukkan untuk jadi kota industri," ujarnya. (*)

Penulis: Rafika
Editor: Ridho M