Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Selasa, 18 Juni 2024 | 589 views
Samarinda, Presisi.co - Pemerintah mengeluarkan aturan baru terkait izin usaha pertambangan (IUP). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang merevisi PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aturan anyar itu, memungkinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mengelola pertambangan. Sontak hal ini menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Sebab, ada ormas yang menolak, dan ada pula yang menerima.
Menurut Roedy Haryo Widjono, seorang tokoh katolik Samarinda, gereja tidak akan terlibat dalam kegiatan ekstraktif seperti pertambangan.
"Gereja memiliki ajaran yang melarang eksploitasi alam secara ekstraktif," ujar Roedy, Sabtu (15/6). Menurutnya, pernyataan resmi dari kardinal dan ormas Katolik menegaskan sikap ini.
Roedy melihat kebijakan pemberian konsesi pertambangan kepada ormas sebagai langkah politis yang dapat menjerumuskan ormas keagamaan.
Ia juga mengkritik kebijakan ini yang masih cacat secara hukum, karena belum dilengkapi dengan petunjuk teknis yang sesuai dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Perubahan peraturan harus dilengkapi dengan peraturan presiden yang mengatur bagaimana ormas keagamaan melakukan proses eksploitasi tambang," terang pengajar di Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik Bina Insan Keuskupan Agung Samarinda itu.
Industri batu bara ekstraktif, dipandang Rohaniawan Katolik itu membawa risiko lingkungan dan sosial yang signifikan. Penggalian terbuka dapat merusak alam, menghabiskan sumber air, serta mengganggu kesehatan masyarakat sekitar melalui polusi dan kebisingan.
Konflik lahan juga sering terjadi, mempengaruhi ruang hidup dan kesejahteraan masyarakat. "Tambang yang tidak direhabilitasi mengancam kehidupan," ujarnya.
Roedy mengusulkan alternatif lain untuk mencari dana pembinaan jemaat, mengingat kerusakan ekosistem di Kalimantan Timur yang sudah parah.
"Kami menolak tambang bukan hanya karena alasan politis. Kalimantan Timur menghadapi krisis ekologi yang seharusnya diatasi dengan moratorium penghentian kegiatan ekstraktif dan perkebunan skala besar. Ini penting untuk menghindari krisis iklim dan ekologi serta memungkinkan pemulihan dan kontrol yang lebih baik," tuturnya.
Roedy juga menyoroti pemerintah yang dinilainya pura-pura tidak tahu soal dampak negatif kebijakan ini. (*)