DPR 'Ngebut' Revisi Sejumlah UU Jelang Akhir Masa Jabatan, Pakar Hukum Tata Negara: Sarat Kepentingan Politik
Penulis: Rafika
Kamis, 23 Mei 2024 | 817 views
Presisi.co - Menjelang akhir masa jabatan, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) gencar membahas revisi sejumlah Undang-Undang (UU) yang dinilai strategis untuk dibawa ke sidang paripurna. Namun, hal tersebut memicu polemik dan kritikan dari berbagai kalangan lantaran dinilai sarat akan kepentingan politik dibanding kepentingan publik.
Sejumlah UU yang sudah rampung dibahas itu antara lain revisi Undang-Undang Kementerian Negara dan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Penyusunan draf revisi UU Kementerian Negara diselesaikan Balai Legislatif (Baleg) DPR hanya dalam waktu tiga hari.
Selain itu, DPR juga tengah membahas revisi UU penyiaran yang dinilai dapat mengancam kebebasan pers, serta berencana membahas revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia.
Perubahan UU Kepolisian dan UU TNI itu hanya memperpanjang usia pensiun dari 58 tahun menjadi 60 tahun, bahkan hingga 65 tahun untuk personel yang menduduki jabatan. Hal ini dinilai tidak urgensi dan berdampak pada proses regenerasi di lingkup internal.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai revisi UU tersebut merupakan upaya DPR untuk menyelundupkan kepentingan politik kekuasaan.
“Kalau kita baca politik hukum pembentuk undang-undang semestinya yang didahulukan adalah yang sudah ditetapkan sebagai proritas legislasinya," tutur Herdiansyah Hamzah.
"Sebagai contoh, mengapa bukan RUU perampasan aset, itu kan prioritas. Dari dulu bahkan sudah didorong untuk dibahas dan disyahkan oleh masyarakat sipil, sudah masuk Prolegnas tetapi itu justru diturunkan dan dinaikan RUU yang justru memiliki dampak luas dan strategis,” sambungnya.
Pria yang akrab disapa Castro itu mengatakan DPR saat ini seharusnya tidak mengeluarkan aturan-aturan yang berdampak strategis, mengingat hasil pemilu presiden dan legislatif sudah ditetapkan.
Oleh sebab itu, menurutnya, penyusunan UU atau revisi UU yang dilakukan DPR sarat akan kepentingan politik ketimbang kepentingan publik.
Selain itu, Herdiansyah Hamzah bersama lebih dari 20 pakar hukum tata negara dan pakar hukum administrasi yang tergabung dalam Contitutional and Administration Law Society (CALS) mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR Puan Maharani, berisi penolakan keras atas draf revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam surat terbuka tersebut, CALS mendesak Jokowi selaku pimpinan eksekutif dan Puan Maharani selaku pimpinan legislatif untuk tidak meloloskan revisi UU MK tersebut yang berpotensi melemahkan negara hukum, demokrasi, dan independensi Mahkamah Konstitusi.
CALS menyebutkan adanya masalah prosedural dan materiil yang berbahaya dalam draf revisi UU MK tersebut. Mereka juga menilai bahwa revisi UU MK tersebut reaksioner, tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang, dan pembahasannya dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa tanpa melibatkan partisipasi publik.
Herdiansyah mengatakan jika revisi UU MK itu tetap disahkan, judicial review ke Mahkamah Konstitusi akan dilakukan. Namun untuk saat ini, dia berharap surat yang disampaikan CALS dapat mengedukasi publik tentang masalah dalam proses pembentukan UU tersebut.
“Jadi kita berharap proses itu juga meluas jadi pada dasarnya semacam opini alternatif terhadap apa yang dilakukan DPR,” ungkapnya.
Merujuk pada draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disetujui DPR dan pemerintah disebutkan pasal 23A, masa jabatan hakim konstitusi diatur menjadi 10 tahun. Namun pada ayat 2 Pasal 23A, hakim konstitusi wajib dikembalikan ke lembaga pengusul (DPR, pemerintah dan Mahkamah Agung) setelah lima tahun menjabat guna memperoleh persetujuan untuk melanjutkan atau menanggalkan jabatannya. (*)