search

Berita

aremagas air mataTragedi Kanjuruhanstadion kanjuruhan

Kisah Seorang Penyintas Tragedi Kanjuruhan, Suaminya Meninggal Setelah Selamatkan Satu Keluarga dari Tembakan Gas Air Mata

Penulis: Redaksi Presisi
Selasa, 04 Oktober 2022 | 793 views
Kisah Seorang Penyintas Tragedi Kanjuruhan, Suaminya Meninggal Setelah Selamatkan Satu Keluarga dari Tembakan Gas Air Mata
Pintu 12 Stadion Kanjuruhan (Sumber: Istimewa)

Presisi. co – Bagi Sulastri, suaminya, Ahmad Yunadi, adalah pahlawan Tragedi Kanjuruhan. Suaminya itu berhasil menyelamatkan istri, cucu, keponakan, hingga menantunya dari kepungan gas air mata. Namun takdir berkata lain bagi dirinya sendiri. Pria 40 tahun itu meninggal di stadion tersebut.

Kisah ini bermula ketika keluarga itu menonton Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada Sabtu, 1 Oktober 2022 malam. Kericuhan pecah usai pertandingan. Musababnya, sejumlah aparat berseragam terlihat menghalangi sejumlah suporter Aremania yang hendak bersalaman tangan dengan pemain kesayangan mereka.

Melihat hal tersebut, Wahyudi pun segera menjak rombongan keluarganya keluar stadion. Ia tidak mau cucunya itu melihat keributan tersebut.

“Enggak baik anak kecil lihat kayak begini," kata Wahyudi, dikisahkan Sulastri, dikutip dari Suara.com, jejaring Presisi.co.

Mereka berdelapan lantas keluar berpegangan tangan menuju tangga ke arah pintu tribun nomor 12. Pelan-pelan mereka menuruni tangga tersebut. Namun, sebuah benda berasap melayang di atas kepala Sulastri. Ia sontak merasakan perih di matanya. Benda itu adalah gas air mata.

Saking perihnya, Sulastri tak bisa membuka mata. Terakhir kali ia melihat wajah suaminya, adalah saat ia mencengkram tangannya. “Pegangan semua, pegangan,” perintah Wahyudi.

Di pintu tersebut, banyak suporter lain yang berteriak ketakutan. Berdesak-desakan. Jumlahnya ratusan. Untuk menyelamatkan diri, Wahyu sekeluarga lantas melawan ombak manusia untuk mencapai gerbang. Namun, pintu itu hanya terbuka dari satu sisi.

Wahyudi lantas mencari cara lain agar bisa menyelamatkan keluarganya. Sembari terus berpegangan tangan, mereka menyeruak mendekati pintu. Dorongan dari arah belakang semakin kuat. Pegangan Wahyudi dengan keenam keluarganya terlepas.

Sulastri pun terombang-ambing di tengah massa yang berdesak-desakkan. Ia terdorong ke sana-ke mari. Dadanya semakin sesak. Ia hanya bisa pasrah bila harus mati di pintu nomor 12. Kesadarannya menghilang.

Ketika siuman, ia sudah terbaring di luar stadion. Sulastri pun harus menerima kabar buruk. Suaminya tewas. Sementara cucu, menantu, dan ketiga keponakannya berhasil keluar selamat dari stadion.

“Bapak meninggal demi menyelamatkan kami dan cucunya,” kata Sulastri, Senin, 3 Oktober 2022.

Sulastri bersama belasan penyintas tragedi Kanjuruhan larut dalam kesedihan yang sama di kantor Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, saat mengenang peristiwa tersebut. Mereka masih menunggu keadilan. Dan pertanggung jawaban dari gas air mata. (*)

 

Editor: Bella