Mengenal Ritual Hudoq Dayak Bahau, Tradisi Tahunan Usai Menanam Padi
Penulis: Jeri Rahmadani
Rabu, 01 Desember 2021 | 1.920 views
Samarinda, Presisi.co - Ditengah gempuran modernisasi tak membuat kebudayaan Suku Dayak Bahau di Kota Samarinda luntur seketika. Meski berada dalam wilayah yang cenderung heterogen, Suku Dayak Bahau tetap melangsungkan ritual Hudoq yang merupakan acara sakral tahunan.
Teranyar, ritual Hudoq ditutup resmi pada Rabu, 1 Desember 2021 yang dihelat di Gang Usaha, Kelurahan Loa Buah, Sungai Kunjang, Kota Samarinda. Penutupan tersebut merupakan rangkaian ritual Hudoq yang dilaksanakan sejak 21 November - 1 Desember 2021.
Kepala Adat Besar Suku Dayak Bahau Kota Samarinda, Blawing Belarek mengatakan, Hudoq merupakan ritual yang wajib dilaksanakan satu tahun sekali usai Suku Dayak Bahau melakukan penanaman padi. Dengan harapan, padi yang ditanam bisa tumbuh subur, berkah, dan dapat berlimpah-ruah butir-butir padinya saat memasuki masa panen.
"Makna Hudoq dalam sisi spiritualnya adalah semacam doa, ada Hudoq yang berdiri lalu bicara. Dipercaya dalam ritual, Hudoq ini jelmaan roh-roh dari luar bumi atau kahyangan jika di Indoensia-kan. Mereka datang dari berbagai arah berkumpul di suatu tempat, lalu datang menemui manusia membawa kebaikan, berkah, sampai keberuntungan," kata Blawing Belarek saat ditemui Presisi.co saat penutupan ritual Hudoq pada Rabu, 1 Desember 2021.
Blawing menegaskan, ritual Hudoq terbuka bagi Suku Dayak dengan rumpun apapun dari sekian banyaknya yang ada di Benua Etam ini. Termasuk, bagi suku-suku lainnya di Kota Tepian.
"Karena ini sifatnya umum, dari suku apa saja mereka bisa melihat. Hudoq bukan untuk di tonton, tapi untuk bergabung dan meramaikan," sambungnya.
Untuk diketahui, ritual Hudoq sendiri meliputi 3 rangkaian. Mulai dari Hudoq Tahariq yang telah dilaksanakan saat pembukaan pada 21 November lalu, Hudoq Kawit pada 28 November, dan Hudoq Pakoq yang berlangsung 1 Desember 2021 hari ini.
Ritual Hudoq sendiri identik dengan penari-penarinya yang memakai daun-daunan serta bahan alam lainnya sebagai pakaian.
Dijelaskan Blawing, penari Hudoq sendiri memiliki beberapa karakter yang terbagi dalam tiga hal. Yaitu penari Hudoq tua yang bernama Hudoq Bakap, Hudoq muda yang disebut Hudoq Burung, dan Hudoq Keselik yang berpakaian aneh dan sering ditertawakan lantaran bentuknya yang aneh sekaligus lucu.
"Mereka memakai daun Pakis yang melambangkan tanaman cepat tumbuh. Ada pula laki-laki memakai baju perempuan dan sebaliknya. Intinya, membuat kemeriahan saja, karena sehabis ini akan kembali bekerja lagi (berkebun)," imbuh Blawing.
Blawing mengaku, Hudoq sendiri sudah ada sejak saat dirinya masih dalam masa kanak-kanak. Adapun selain Hudoq, saat panen padi pertam juga turut ada acara sakral lainnya yaitu Lali Ata.
"Ada masakan yang dibuat khusus saat itu saja, sejenis emping," terangnya.
Setelah itu, lanjut Blawing, ada juga syukuran yang bernama Nebuko. Semacam pesta makan bersama dari hasil panen padi tersebut.
"Beras bisa ditumbuk jadi tepung. Semcama pesta makan bersama dari hasil panen itu," paparnya.
Kabid Pengembangan Destinasi dan Usaha Pariwisata Dinas Pariwisata (Dispar) Kota Samarinda, Agnes Gering Belawing menuturkan, pihaknya terus mendukung penuh kebudayaan tersebut.
"Karena ini sebenarnya bukan pertunjukan, melainkan budaya mereka yang berkaitan dengan menanam padi," ucapnya yang juga hadir di lokasi.
Agnes menyatakan, adapun pelaksanaan Hudoq kali ini tak terkonsentrasi di satu tempat lantaran upaya memecah jumlah penonton yang dapat memicu terjadinya kerumunan, mengingat saat ini masih dalam masa pandemi Covid-19.
"Untuk ke depan pelestarian budaya Hudoq, kami akan terus dukung dengan memberikan fasilitas. Dari pemerintah sendiri sudah menyiapkan Bakuda (banjar, Kutai, dayak), kawasan itu nantinya bisa menjadi wilayah pariwisata," jelasnya. (*)