search

Daerah

Beasiswa KaltimBantuan Pendidikan GratispolInfo BeasiswaSri MurliantiPemprov Kaltim

Sosiolog Sebut Bantuan Pendidikan Gratispol Sama Seperti Beasiswa Konvensional

Penulis: Akmal Fadhil
8 jam yang lalu | 0 views
Sosiolog Sebut Bantuan Pendidikan Gratispol Sama Seperti Beasiswa Konvensional
Sosiolog Sri Murlianti saat memberikan kritik soal program gratispol. (Presisi.co/Akmal)

Samarinda, Presisi.co – Program bantuan pendidikan GratisPol yang diluncurkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dinilai masih menyisakan persoalan mendasar. Alih-alih menjangkau kelompok paling rentan, program ini justru disebut masih bersifat elitis dan berpotensi memperkuat ketimpangan akses pendidikan.

Penilaian itu disampaikan sosiolog Sri Murlianti dalam diskusi publik bertajuk “Arah Program GratisPol dan Masa Depan Pendidikan Kaltim” yang digelar di Teras Samarinda, Senin 30 Juni 2025.

“Program ini tidak jauh berbeda dari beasiswa konvensional yang sudah ada sebelumnya. Semangat awalnya untuk menghapus hambatan biaya dan birokrasi bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, justru makin kabur,” ujar Murlianti.

Menurut Murlianti, selama ini program pendidikan di Kaltim cenderung mengutamakan prestasi akademik, tanpa mempertimbangkan ketimpangan struktural yang membuat banyak anak dari daerah pedalaman tertinggal secara sistemik.

“Anak-anak desa bukan tidak mampu, mereka hanya tidak pernah diberi ruang untuk berkembang sejak pendidikan dasar. Mereka tertinggal bukan karena bodoh, tapi karena sistemnya timpang sejak awal,” katanya.

Ia mencontohkan kondisi di Desa Enggelam, Kutai Kartanegara, di mana akses ke sekolah dasar saja membutuhkan perjalanan jauh.

Sementara di jenjang SMP, mayoritas sekolah hanya tersedia di tingkat kecamatan, dan tidak semua orang tua mampu membiayai anak-anak mereka.

“Kalau kita bicara generasi emas Kaltim, faktanya 80 persen anak-anak dari pedalaman bahkan tidak sampai ke SMA, apalagi perguruan tinggi. Yang dibantu selama ini hanya 20 persen yang berhasil keluar dari lingkaran ketimpangan itu,” tegasnya.

Murlianti juga mengkritik fokus GratisPol yang hanya mencakup Uang Kuliah Tunggal (UKT), tanpa mengakomodasi biaya hidup, transportasi, dan tempat tinggal yang justru menjadi beban utama mahasiswa dari desa.

“UKT itu hanya seperlima dari total biaya pendidikan. Kalau hanya itu yang ditanggung, keberpihakan kita masih setengah hati. Lebih baik kos dan makan yang ditanggung, daripada hanya UKT,” ujarnya.

Ia memperingatkan bahwa kebijakan pendidikan yang tidak mempertimbangkan latar belakang sosial-ekonomi berisiko memperkuat elitisme.

Menurutnya, tanpa skema afirmatif yang jelas, anak-anak dari keluarga mampu tetap akan menikmati subsidi, sementara kelompok paling rentan justru tercecer.

“Yang sering terbantu justru anak-anak elite desa yang sudah punya akses. Padahal, yang paling membutuhkan justru tidak sanggup kuliah sejak awal,” katanya.

Sebagai solusi, Murlianti mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan pendidikan berbasis afirmasi, bukan hanya meritokrasi semu.

“Cukup pastikan mereka yang tadinya tidak sanggup kuliah jadi bisa kuliah. Tidak perlu semuanya berprestasi tinggi. Itu sudah langkah besar dalam menciptakan keadilan pendidikan,” pungkasnya. (*)

Editor: Redaksi