Mengenal Tes Crossmatch, Prosedur Medis yang Diduga Jadi Modus Dokter PPDS Unpad Rudapaksa Keluarga Pasien
Penulis: Rafika
Rabu, 09 April 2025 | 237 views
Ilustrasi. (Shutterstock)
Presisi.co - Jagat media sosial tengah dihebohkan dengan berita dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang dokter residen dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi terhadap seorang keluarga pasien di rumah sakit.
Informasi mengenai dugaan kasus ini pertama kali mencuat di platform X melalui akun @txtdarijasputih dan juga di Instagram melalui akun @ppdsgramm.
Unggahan akun X @txtdarijasputih menampilkan tangkapan layar berisi pesan singkat yang menyebut dugaan tindakan kekerasan seksual oleh residen dari fakultas kedokteran di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Dalam tangkapan layar tersebut, pelaku disebut memanfaatkan akses terhadap obat bius yang dimilikinya untuk membuat korban tak sadarkan diri.
Pada unggahan akun X tersebut juga melampirkan kronologi sementara. Disebutkan bahwa korban merupakan anak dari pasien yang tengah dirawat di ICU dan sedang berjaga pada malam hari.
Kala itu, ayah korban membutuhkan transfusi darah untuk keperluan operasi, dan pelaku menawarkan bantuan untuk mempercepat proses pencocokan darah (crossmatch).
Dengan dalih tersebut, korban dibawa ke lantai 7 sebuah gedung baru rumah sakit yang disebut masih dalam kondisi kosong. Di sana, korban diminta mengganti pakaian dengan baju pasien dan dipasangi akses infus (IV).
Korban yang tidak memahami prosedur medis mengira hal tersebut adalah bagian dari pemeriksaan standar. Namun, ia diduga disuntik obat bius jenis midazolam hingga tidak sadarkan diri.
Dalam unggahan yang beredar, pelaku disebut melakukan melancarkan aksinya saat korban dalam kondisi tidak sadar.
Korban dikabarkan baru tersadar sekitar pukul 04.00 atau 05.00 pagi dalam kondisi lemah dan berjalan sempoyongan.
Lantas, apa itu sebenarnya tes crossmatch yang jadi modus dokter residen melancarkan aksi bejatnya?
Mengutip dari laman University of Rochester Medical Center, crossmatch atau pemeriksaan silang pemeriksaan yang dilakukan untuk memastikan kecocokan antara darah pasien dengan darah donor sebelum transfusi.
Tes ini bertujuan untuk mencegah reaksi imunologis yang berbahaya akibat ketidakcocokan darah, yang bisa menyebabkan komplikasi serius bahkan berakibat fatal. Crossmatch merupakan langkah penting dalam menjamin keselamatan pasien.
Sebelum pemeriksaan crossmatch dilakukan, tahapan pertama yang harus dilalui adalah penentuan golongan darah. Tes ini menentukan apakah seseorang memiliki golongan darah A, B, AB, atau O.
Selain itu, juga akan diperiksa apakah seseorang memiliki Rh positif atau Rh negatif. Informasi ini penting karena darah donor yang akan diberikan harus berasal dari golongan dan Rh yang sesuai.
Setelah golongan darah diketahui, langkah selanjutnya adalah pemeriksaan antibodi penerima, atau yang dikenal sebagai recipient antibody screen. Tes ini bertujuan untuk mendeteksi apakah ada antibodi tak terduga dalam darah pasien.
Lewat tes ini, tenaga medis akan mencocokkan darah pasien dengan darah calon donor untuk memastikan keduanya benar-benar cocok. Prosesnya dilakukan di laboratorium, mirip seperti uji coba transfusi dalam tabung reaksi, supaya bisa dilihat secara langsung apakah darah pasien akan bereaksi terhadap darah donor yang akan digunakan.
Secara teknis, prosedur ini dilakukan dengan mencampurkan sedikit serum dari darah penerima dengan sel darah merah dari donor, lalu diamati di bawah mikroskop. Jika ditemukan adanya penggumpalan (aglutinasi) atau reaksi hemolitik, maka artinya darah tidak cocok.
Jika tidak cocok, tubuh dapat menolak darah donor. Sistem kekebalan akan mengenali sel darah tersebut sebagai zat asing. Masalahnya, meskipun sistem imun benar dalam mengenali bahwa sel itu bukan berasal dari tubuh sendiri, ia keliru dengan menganggapnya sebagai ancaman yang harus diserang. Akibatnya, sistem imun akan menyerang sel darah donor dan ini bisa menimbulkan reaksi serius, bahkan berbahaya bagi nyawa pasien.
Sebaliknya, jika tidak ada reaksi, maka darah dianggap aman untuk ditransfusikan. Crossmatch umumnya membutuhkan waktu sekitar 45 menit hingga 1 jam, tergantung metode yang digunakan dan kesiapan sampel darah.
Pemeriksaan crossmatch sangat penting untuk menghindari reaksi transfusi yang bisa membahayakan pasien. Salah satu risiko terbesar dari transfusi darah yang tidak cocok adalah terjadinya reaksi hemolitik akut, di mana sistem imun penerima menyerang dan menghancurkan sel darah merah donor.
Kondisi ini bisa menimbulkan gejala seperti demam tinggi, nyeri dada, sesak napas, hingga kerusakan ginjal. Dalam kasus yang parah, hal ini bisa berujung pada kematian. Oleh karena itu, memastikan kecocokan darah sebelum transfusi menjadi prosedur wajib dalam praktik medis modern. (*)