Nasib Kaum Tani dan Ancaman Resesi di masa Pandemi
Penulis: Redaksi Presisi
Jumat, 25 September 2020 | 934 views
Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati…. Air matanya berlinang, Mas intannya terkenang…
Kurang lebih seperti itu lirik “Ibu Pertiwi” sebuah karya cipta Ismail Marzuki yang memberi magnet, gambaran negeri yang tak pernah berkesudahan penuh derita dan rintihan kesusahan disekelilingnya. Julukan tersohor “bumi pertiwi”, rasanya akan terus menjadi sorotan pada setiap periode negeri ini. Menjadi sebuah keniscayaan untuk negeri elok yang di sebut-sebut “kaya akan sumber daya alam”. Menguatkan kita untuk meyakini bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dan selayaknya untuk berbangga dengan negara ini. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan berbagai peristiwa serta fenomena sosial yang terjadi pada tahun ini, terlintas pertanyaan besar dalam benak segelintir umat yang khalayaknya menjadi sebuah alternative rekayasa publik, tak terlihat realita akan kemakmuran masyarakatnya, tak terlihat pula komoditi alamnya terproduksi secara mandiri, kecuali menjualnya menjadi tabungan bagi korporasi. Negeri kaya ini juga tak luput dahulunya disebut sebagai Negara Agraris, sebab sektor pertanian menjadi primadona usaha di negeri ini, bahkan sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor pertanian, alam hijau yang berlimpah menjadi gambaran suburnya negeri yang kita cintai ini.
Tepat pada 24 September, diperingatinya Hari Tani Nasional. Peringatan ini mengingatkan kita agar tidak lupa akan lahirnya Undang-Undang No 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) pada era Orde Lama, yang membawa cita-cita untuk menjalankan reformasi Agraria. Momentum Hari Tani Nasional menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas dan soko guru (tulang punggung), bagian dari kesejahteraan lingkup ekonomi bangsa yang kerap dilupakan. Setiap tahunnya, ribuan petani tetap pada gambaran hierarkinya sebuah kaum kecil. Sebuah peringatan yang lebih banyak diliputi keprihatinan dan kondisi yang jauh dari kesejahteraan.
Semakin bersemangat rasanya, menguak sejarah bahwa dua tokoh nasional memiliki andil dalam ranah agraria dan pertanian kita, kutipan tokoh nasional Bung Karno memiliki slogan “Reforma Agraria dan Pangan Menjadi Masalah Hidup-Matinya Suatu Bangsa” dengan dasar Trisakti (Berdaulat Politik, Berdikari Ekonomi dan Berkepribadian dalam Kebudayaan). Sementara pak Suharto menyemangati kita dengan “Swasembada, Revolusi Hijau dan Ketahanan Pangan” yang melandaskan pada Trilogi (Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan). Namun, ironisnya negeri agraris kita belum melayakkan jutaan petaninya yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Pun saat ini dengan dibukanya pembaruan teknologi pertanian tidak serta merta membuat kehidupan jutaan petani lainnya membaik. Meninjau ribuan kasus perebutan lahan antara petani dengan korporasi masih kita lihat pada kenyataan hari ini. penggolongan dan pelapisan sosial di masyarakat berdasarkan pemilikan dan penggunaan tanah. Struktur sosial yang tercipta dari ketimpangan terhadap kepemilikan dan penggunaan tanah adalah terjadinya proletarisasi petani yang semakin meluas. Proletarisasi ini ditandai transformasi kelas petani menjadi buruh tani.
Pernahkah kita berterima kasih kepada para petani penanam benih? Keramahan yang putih, ketulusan yang tak pernah menagih. (Habiburrahman El Shirazy)
Kini Tujuh bulan lamanya pandemi covid 19 melanda negeri ini, dan sejak diumumkannya kasus Covid-19 pertama (awal Maret) berbagai aturan dibuat untuk membatasi gerak, terkurung di rumah. Perkantoran ditutup. Ekonomi melambat drastis. namun tak khalayak nya para petani kita, ia tetap berladang dan menunggu waktu panen. Tak ada kata libur, terutama bagi petani dengan upah harian. Dalam sejumlah sektor produksi, kelompok petani adalah sektor yang paling terdampak sebab berperan sebagai produsen dan konsumen sekaligus. Normalnya harga cabai rawit berada di kisaran Rp 25.000 – 30.000/kg, kini menjadi + Rp 58.000, hal ini dikarenakan banyaknya permintaan kepada petani cabai yang mengakibatkan berkurangnya pasokan produsen cabai.
Resesi di Depan Mata
Indonesia mencatatkan penurunan ekonomi sebesar -5,32% pada kuartal II 2020, turun drastis dibandingkan periode yang sama tahun lalu, secara data ini menunjukkan adanya resesi, karena penurunan yang cukup tajam ada kemungkinan di prediksi pada kuartal III nanti tidak memungkinkan kembali positif. Runyamnya permasalahan keterpurukan ini benar-benar menjadi momok yang tajam dan menjadi perhatian.
Kini masalah ketahanan pangan menjadi hal rentan pada situasi pandemi saat ini, Ketahanan pangan mengindikasikan pada ketersediaan akses terhadap sumber makanan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Kondisi pandemi COVID-19 ini mengakibatkan ketersediaan akses terhadap makanan akan diperparah pada kondisi buruk, berkurangnya pasokan persediaan pangan akan melumpuhkan sejumlah sektor internal ,sebab tanpa pangan apa yang ingin diolah jika kebutuhan dasar berada pada ancaman.
Pentingnya menyejahterakan kaum tani adalah keniscayaan didepan mata hari ini, ia sebagai produsen sekaligus konsumen semakin terpuruk menghadapi kondisi-kondisi buruk saat ini. Dan pada dasarnya kondisi petani yang tetap berkontribusi dalam penyediaan pangan tidak berbeda jauh dengan elemen masyarakat lain yang menjadi garda terdepan dalam penanganan Covid 19 saat ini.
Pada masa pandemi, kesejahteraan petani menjadi hal yang sangat penting, sebab apa ?? Petani lah soko guru itu, kesejahteraannya menjadi pertimbangan kehidupan masyarakat.
Dikutip dari berita Proteksi Tanaman 12/06/2020, Pertama Petani mestinya mendapatkan dukungan yang adil, yaitu petani merasakan dan mendapatkan dukungan yang diberikan oleh pemerintah secara merata. Adanya dukungan petani harapannya dapat mengurangi kepanikan dan kekhawatiran dalam menjalankan aktivitas untuk memproduksi secara optimal.
Kedua, masyarakat juga harus berbondong bondong untuk saling membantu dalam keadaan seperti ini. Kontribusi elemen mahasiswa dan masyarakat adalah hal yang diperlukan untuk melawan keadaan sulit. Karena saat wabah yang meluas, tetaplah yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat yaitu pangan. Kebutuhan pangan tidak akan terhenti dan akan tetap terus memenuhi permintaan masyarakat dan menjadi garda berjalannya perekonomian.
Ketiga, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian mengenai strategi pertanian dalam masa pandemic ini mesti tuntas menjaga petani tetap sehat, sejahtera, dan semangat untuk tetap terus berproduksi karenanya petani merupakan pelaku pertama dalam pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sehingga terwujudnya ketahanan pangan dan menjadi garda dalam menghadapi kondisi resesi ekonomi.