Akademisi Unmul Ajak Generasi Muda Belajar Nilai Kepahlawanan Lewat Kebudayaan Lokal
Penulis: Redaksi Presisi
2 jam yang lalu | 0 views
Muhlis, Akademisi Unmul sekaligus penggiat budaya. (Dok. Pribadi)
Presisi.co - Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai momen reflektif untuk mengenang perjuangan para pejuang kemerdekaan. Namun, di era modern yang sarat dengan tantangan globalisasi dan disrupsi digital, semangat kepahlawanan tak lagi cukup hanya diperingati dengan upacara dan tabur bunga. Semangat itu perlu dihidupkan kembali dalam bentuk baru: melalui pendidikan dan kebudayaan lokal.
Akademisi Unmul sekaligus penggiat budaya, Muhlis, menegaskan bahwa nilai-nilai kepahlawanan tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya. Dalam berbagai forum diskusi kebudayaan, Muhlis sering menekankan bahwa pahlawan sejati bukan hanya mereka yang berjuang di medan perang, tetapi juga mereka yang mempertahankan dan menghidupkan nilai-nilai luhur bangsa lewat pendidikan dan karya kebudayaan.
“Kebudayaan lokal adalah akar dari identitas bangsa. Jika generasi muda melupakan budayanya, maka mereka akan kehilangan arah, bahkan kehilangan semangat juang,” ujar Muhlis.
Pendidikan yang ideal bukan hanya berorientasi pada capaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan jati diri. Nilai-nilai seperti gotong royong, keberanian, tanggung jawab, serta cinta tanah air harus ditanamkan melalui kegiatan belajar yang kontekstual dan bermakna. Salah satu jalannya adalah dengan mengintegrasikan kebudayaan lokal ke dalam proses pendidikan. Misalnya, melalui pembelajaran seni tari daerah, musik tradisional, permainan rakyat, atau cerita rakyat yang mengandung nilai perjuangan dan moral.
Muhlis menilai bahwa kebudayaan lokal memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai media pendidikan karakter. Setiap daerah di Indonesia memiliki kisah pahlawan dan tokoh lokal yang dapat dijadikan inspirasi dalam pembelajaran. Ia mencontohkan bagaimana kisah Pangeran Antasari dari Kalimantan, Sultan Hasanuddin dari Sulawesi, hingga Patimura dari Maluku tidak hanya mengajarkan keberanian, tetapi juga memperlihatkan nilai-nilai solidaritas dan keikhlasan berjuang demi rakyat. Nilai-nilai ini, menurut Muhlis, relevan untuk ditanamkan kepada generasi muda yang kini hidup dalam era yang lebih individualistis.
Lebih lanjut, Muhlis mengingatkan bahwa pendidikan masa kini cenderung terjebak pada sistem yang mekanistik dan kompetitif. Sekolah sering kali lebih menekankan pada pencapaian nilai dan prestasi akademik dibandingkan dengan pembentukan karakter. Padahal, semangat kepahlawanan dapat tumbuh jika pendidikan mampu membangkitkan kesadaran sosial dan empati peserta didik terhadap lingkungannya.
“Pendidikan harus memanusiakan manusia. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga penjaga nilai-nilai kemanusiaan dan budaya,” tegas Muhlis.
Dalam konteks Hari Pahlawan, Muhlis mengajak dunia pendidikan untuk memaknai kepahlawanan tidak secara sempit. Menurutnya, menjadi pahlawan di masa kini bukan hanya berarti mengangkat senjata, melainkan menjadi agen perubahan positif di bidangnya masing-masing. Seorang guru yang berdedikasi di pelosok negeri, siswa yang gigih menjaga kelestarian budaya daerah, atau dosen yang meneliti tentang warisan budaya lokal semuanya adalah pahlawan dalam arti yang sejati.
Muhlis juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi dalam mengarusutamakan kebudayaan lokal dalam kurikulum. Ia berpendapat bahwa banyak potensi budaya daerah yang bisa dijadikan bahan ajar kontekstual untuk menanamkan nilai patriotisme dan nasionalisme.
“Kita memiliki ribuan bahasa daerah, ratusan kesenian tradisional, dan kearifan lokal yang kaya. Semua itu adalah warisan yang harus dijaga dan diajarkan kepada generasi penerus,” katanya.
Selain itu, Muhlis mengajak mahasiswa dan pelajar untuk aktif menggali serta mempublikasikan budaya lokal melalui karya kreatif, seperti film pendek, musik, atau literasi digital. Dengan cara ini, kebudayaan tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga menjadi bagian hidup dari masa kini yang relevan dengan dunia modern. “Menjadi pahlawan di era digital berarti mampu menjaga nilai-nilai budaya bangsa di tengah arus globalisasi yang kian deras,” ujarnya.
Refleksi dari gagasan Muhlis ini menegaskan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui pendidikan berbasis kebudayaan, nilai-nilai kepahlawanan dapat dihidupkan secara alami dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa. Di sekolah, di kampus, bahkan di dunia digital, semangat itu harus terus dijaga agar generasi muda tidak tercerabut dari akar budayanya.
Hari Pahlawan 10 November 2025 bukan sekadar momentum seremonial, tetapi panggilan moral bagi seluruh elemen bangsa untuk menyalakan kembali obor perjuangan bukan dengan senjata, melainkan dengan ilmu, budaya, dan nilai kemanusiaan. Seperti kata Muhlis,
“Semangat pahlawan sejati adalah semangat untuk terus belajar, mengabdi, dan menjaga warisan budaya bangsa agar Indonesia tetap berdiri teguh dengan jati dirinya," tutupnya. (*)