DPRD Kaltim Desak Pemerintah dan Perusahaan Tambang Tanggung Jawab atas Ketimpangan Infrastruktur
Penulis: Akmal Fadhil
Kamis, 05 Juni 2025 | 14 views
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Muhammad Husni Fahruddin. (istimewa)
Samarinda, Presisi.co – Ketimpangan infrastruktur dasar di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) kembali menjadi sorotan DPRD Kalimantan Timur (Kaltim).
Anggota Komisi III, Apansyah, menilai buruknya kondisi jalan, listrik, dan air bersih di wilayah kaya tambang itu menunjukkan ketidakseimbangan pembangunan yang serius.
Dalam tinjauannya, Apansyah menyoroti kerusakan parah ruas jalan Sangatta–Bengalon yang menjadi jalur utama masyarakat dan industri, namun kini rusak berat akibat lalu lintas kendaraan tambang milik PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Menurutnya, jalan vital tersebut tidak mendapat perhatian layak, meskipun dimanfaatkan secara intens oleh perusahaan besar.
“Ini sangat memprihatinkan. Infrastruktur yang seharusnya jadi penopang utama aktivitas warga justru hancur karena eksploitasi berlebihan dan minim tanggung jawab,” tegas Apansyah Kamis 5 Juni 2025.
Ia menambahkan bahwa DPRD Kaltim telah memanggil pihak perusahaan untuk dimintai klarifikasi. Namun, KPC beralasan perbaikan jalan belum bisa dilakukan karena izin formal masih dalam proses meskipun rekomendasi telah diterbitkan.
Di luar persoalan jalan, Apansyah juga mengungkap bahwa ketimpangan akses listrik dan air bersih masih membayangi puluhan desa di Kutim. Dari 18 kecamatan, sebagian besar belum tersambung jaringan listrik secara penuh dan distribusi air bersih pun belum merata.
“Infrastruktur dasar itu hak rakyat. Ketika jalan, air, dan listrik saja belum terpenuhi, artinya ada yang keliru dalam perencanaan pembangunan kita,” ujarnya.
Apansyah menyebut bahwa ketimpangan serupa juga terjadi di Berau dan Bontang. Di Bontang, banjir rutin setiap tahun akibat buruknya drainase, sementara di Berau, infrastruktur penghubung desa masih banyak yang rusak. Kondisi ini menurutnya mengindikasikan ketidakadilan pembangunan antardaerah.
“Ini bukan lagi soal teknis, tapi krisis keadilan pembangunan. Wilayah penghasil SDA malah terpinggirkan dari hak dasarnya,” tegas legislator dari Dapil Kutim itu.
Meski begitu, ia menyambut baik progres pembangunan jalan provinsi yang menghubungkan Kutim dan Berau melalui Jembatan Nibung, yang ditargetkan rampung tahun ini.
Namun, ia menekankan bahwa pembangunan strategis tak boleh melupakan wilayah pinggiran yang menjadi korban ketimpangan bertahun-tahun.
Sebagai solusi jangka panjang, Apansyah mendorong adanya kewajiban tegas bagi perusahaan tambang untuk ikut merawat infrastruktur yang mereka manfaatkan.
Ia menyebut ruas Sangatta–Rantau Pulung sebagai contoh lain dari kerusakan jalan yang luput dari perhatian.
“Perusahaan harus ikut bertanggung jawab. Mereka tak bisa hanya mengambil keuntungan dari tanah ini tanpa memperhatikan dampak ke masyarakat,” tutupnya. (*)