search

Berita

TNIRUU TNIRevisi UU TNIRUU TNI disahkanpasal bermasalah RUU TNI

Deretan Pasal Bermasalah dalam RUU TNI yang Baru Saja Disahkan, Berpotensi Kembalikan Dwifungsi ABRI?

Penulis: Rafika
Kamis, 20 Maret 2025 | 2.593 views
Deretan Pasal Bermasalah dalam RUU TNI yang Baru Saja Disahkan, Berpotensi Kembalikan Dwifungsi ABRI?
Ilustrasi TNI Angkatan Darat. (Indonesia Defense Magazine)

Presisi.co - Revisi UU TNI (RUU TNI) telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR RI, pada Kamis (20/3/2025). Keputusan ini diambil meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, terutama kelompok masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia.

Pengesahan UU TNI tersebut disampaikan Ketua DPR RI Puan Maharani, lalu dijawab setuju para peserta rapat.

"Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" kata Ketua DPR RI Puan Maharani dikutip Kamis (20/3/2025).

"Setuju," ujar para anggota DPR.

Pengesahan ini turut disaksikan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, serta perwakilan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Keuangan.

Namun, pengesahan revisi UU TNI memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil. Sejumlah pasal dalam undang-undang ini dinilai mengancam prinsip supremasi sipil dan profesionalisme TNI. 

Undang-undang tersebut mengubah sejumlah pasal menyangkut tugas dan kewenangan pokok TNI. Beberapa pasal di antaranya perluasan jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI aktif hingga penambahan usia pensiun.

Dilansir dari Suara.com, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa revisi UU TNI ini merupakan langkah menuju kembalinya dwifungsi ABRI yang pernah berlaku pada era Orde Baru.

Dalam siaran persnya, YLBHI menegaskan undang-undang ini akan memberikan legitimasi bagi TNI untuk terlibat dalam politik, ekonomi, dan bisnis. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.

DPR RI dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru yang terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.

Selain itu, revisi ini juga dianggap akan memperlemah independensi peradilan serta memperkuat impunitas bagi anggota TNI yang terlibat dalam pelanggaran hukum. Jika dibiarkan, YLBHI menilai kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada masa depan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Di era pemerintahan Prabowo-Gibran, pembahasan RUU TNI sempat beberapa kali tertunda karena mendapat penolakan luas dari masyarakat. Namun, dengan disahkannya revisi ini, kekhawatiran akan kembalinya militer ke ranah politik dan sipil semakin nyata.

Sejumlah pasal dalam revisi UU TNI dinilai bermasalah. Beberapa di antaranya adalah:

Perpanjangan Usia Pensiun Perwira TNI

Dalam Pasal 53 revisi UU TNI, usia pensiun anggota TNI diperpanjang hingga 62 tahun. Kebijakan ini berpotensi menyebabkan penumpukan perwira non-job yang kemudian dimobilisasi ke lembaga negara maupun perusahaan milik negara. Hal ini dianggap dapat mengancam profesionalisme serta efektivitas lembaga sipil dan BUMN.

Berdasarkan catatan Ombudsman pada tahun 2020, terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan, di mana 27 orang di antaranya adalah anggota TNI aktif dan 13 orang anggota Polri aktif. Kasus terbaru adalah penunjukan Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog, meskipun masih berstatus sebagai perwira aktif.

Batas usia pensiun bintara dan tamtama menjadi 55 tahun, sedangkan perwira sampai pangkat kolonel memiliki batas usia pensiun 58 tahun. Untuk perwira tinggi, masa dinas diperpanjang, khususnya bagi bintang empat, yakni 63 tahun dan maksimal 65 tahun.

Sedangkan dalam undang-undang yang lama, dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama.

Perluasan Jabatan Sipil yang Dapat Ditempati Perwira TNI Aktif

Revisi Pasal 47 RUU TNI memungkinkan anggota TNI aktif untuk menduduki posisi strategis di berbagai lembaga sipil, termasuk Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Badan Narkotika Nasional (BNN).

Padahal, dalam aturan sebelumnya, anggota TNI yang ingin berkarier di lembaga sipil harus terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun. Dengan adanya perluasan ini, independensi dan profesionalisme TNI dikhawatirkan semakin tergerus.

Selain itu, RUU TNI memberikan wewenang bagi TNI untuk mengisi posisi di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Hal ini dinilai membuka celah bagi intervensi militer dalam politik dalam negeri, yang berpotensi mengancam kebebasan sipil dan demokrasi.

Lebih lanjut, masuknya TNI ke institusi seperti BNN dan Kejaksaan Agung juga dapat berujung pada impunitas hukum. Dalam sistem peradilan militer yang berlaku saat ini, anggota TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum, termasuk korupsi dan pelanggaran HAM, tidak diadili di pengadilan umum, melainkan di peradilan militer yang minim transparansi.

Penghapusan Peran DPR dalam Pengawasan Operasi Militer Selain Perang

Revisi UU TNI ini berpotensi menghilangkan peran DPR dalam pengambilan keputusan terkait operasi militer selain perang. Dalam rancangan Pasal 7, meskipun mekanisme operasi militer selain perang semakin diperjelas dibandingkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, revisi ini justru memberikan kekuasaan lebih besar kepada TNI tanpa melalui mekanisme check and balances oleh DPR.

Pasal 7 ayat (4) menyatakan bahwa "pelaksaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut cukup dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10". Regulasi ini dinilai berbahaya karena menghilangkan keterlibatan DPR dalam pengambilan keputusan politik negara dan memberikan kewenangan penuh kepada presiden tanpa pengawasan legislatif. (*)

Editor: Redaksi