search

Daerah

Savrinadeya Support-GroupKekerasan SeksualPidanaPemerkosaan

Savrinadeya Support-Group, Lembaga yang Perjuangkan Ruang Aman dan Bebas dari Kekerasan Seksual di Samarinda

Penulis: Presisi 1
Sabtu, 27 Mei 2023 | 887 views
Savrinadeya Support-Group, Lembaga yang Perjuangkan Ruang Aman dan Bebas dari Kekerasan Seksual di Samarinda
Savrinadeya Support-Group. (Nelly/Presisi.co)

Samarinda, Presisi.co - Maraknya kasus kekerasan seksual di Samarinda mendorong Erik Julian, Esty Pratiwi, dan Nelly Agustina mendirikan lembaga yang fokus pada pemulihan korban kekerasan seksual. Tak hanya itu, mereka juga memberikan ruang aman bagi para korban. Lembaga ini bernama Savrinadeya Support-Group yang didirikan sejak Agustus 2022.

Tiga sekawan ini awalnya bertemu di berbagai forum yang mendiskusikan tentang kesetaraan gender, keberagaman seksualitas dan segala hal yang menyangkut tentang ekonomi, politik, dan sosial sejak tahun 2020. Selanjutnya, mereka kerap mendiskusikan dan menganalisa berbagai kasus kekerasan seksual yang viral di media sosial.

Diskusi-diskusi panjang tersebut bermuara pada pertanyaan: “paling sering kan yang viral pelakunya, korbannya sudah sejauh mana ya dapat perlindungan? Apakah korban dapat dukungan yang tepat? Atau terpuruk dalam kamar?”

Tiga sekawan ini kerap kali menerima berbagai aduan kekerasan seksual. Namun mereka merasa belum profesional dalam menangani atau melakukan intervensi kepada korban kekerasan seksual. Sebab sepanjang menerima aduan harus memilki batasan-batasan dan membutuhkan lembaga yang lebih profesional.

Lalu ketiganya sepakat membentuk lembaga yang fokus pada pemulihan korban dan ruang aman. Dipilihlah nama Savrinadeya yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti membela kebajikan. Sedangkan Support-Group sebagai bentuk penegasan bahwa lembaga yang dibangun harus menjadi ruang atau kelompok yang saling mendukung untuk siapapun dengan identitas apapun.

“Harapannya, semua yang datang harus dipandang sebagai manusia utuh yang selalu mempunyai harapan untuk terus maju,” ungkap Esty.

Anggota awal Savrinadeya Support-Group berjumlah 5 orang, perekrutannya sangat selektif dan melalui berbagai tahap, karena bagi mereka yang paling penting adalah bagaimana pola pikir dasar cara memandang manusia dengan memanusiakan manusia.

“Kami melalui tahapan studi kasus, form dengan berbagai pertanyaan yang mengarah pada topik kesehatan mental dan kekerasan seksual,” sebut Esty.

Terutama soal pemahaman baik anggota dan juga relawan di dalam Savrindeya Support-Group, penekanannya pada pembekalan relawan dan anggota yang wajib memiliki skill pertolongan pertama psikologis (psychological first aid) dan SOGIESC (sexual orientation, gender identity, gender expression and sex characteristics) yang tepat.

“Hal ini penting, karena semua yang terlibat akan ditugaskan langsung menghadapi semua situasi dan keadaan korban,” ucap Erik.

Rancangan-rancangan mulai dibentuk dengan sangat hati-hati. Mulai dari bagaimana batasan menghargai personal korban, batasan penanganan kasus yang tepat sampai pada metode advokasi dan metode support-group yang tepat.

“Konsepnya sederhana, kami membuka ruang untuk berbagi cerita. Karena pengalaman empirik sesama penyintas dibutuhkan agar lebih memahami kondisinya,” ungkap Esty.

Savrinadeya Support-Group dapat memfasilitasi para penyintas kekerasan seksual untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak dari penyintas baik hal tersebut melalui jalur hukum atau pemulihan psikologis, karena bekerjasama dengan salah satu Psikolog Klinis Raniy Meita yang aktif terlibat dalam pendampingan support-group secara langsung.

“Sebelumnya kita kesulitan mencari psikolog yang berperspektif dan berpihak pada korban.Sampai sekarang kami sedang mencari lembaga bantuan hukum yang tepat,” ungkap Erik.

Sejak Agustus 2022 hingga April 2023 Savrinadeya Support-Group sudah menangani 30 kasus yang didominasi oleh perempuan dan mahasiswa, selain itu berbagai kegiatan terus dilakukan mulai dari diskusi permasalahan gender dan kesetaraan, kesehatan mental dan juga aktif menuliskan di berbagai platform.
Bagi mereka, kasus kekerasan seksual tidak perlu semua harus diviralkan di berbagai platform media sosial karena kesejahteraan dan kondisi korban adalah yang paling penting. Viralnya kasus kekerasan seksual menurut mereka bagai dua mata pisau karena banyak juga kasus yang viral akhirnya pada kriminalisasi terhadap korban. Paling penting korban harus siap agar sama-sama berjuang untuk keadilan korban.

“Paling sulit memang menyadarkan korban untuk mengadu dan mencari pertolongan, tapi kami akan berfokus pada kondisi dan konsensual korban,” ungkap Erik.

Seorang pelapor kasus kekerasan seksual, sebut saja Marsedez, bukan nama sebenarnya, mengungkapkan rasa syukurnya karena telah dibantu dalam penanganan kasus dan menganalisa bentuk kekerasan seksual yang dia laporkan. Hal tersebut dapat menjadi bukti kuat bahwa apa yang dia laporkan bukanlah sebuah hal imajiner dan halusinasi, akhirnya berdampak pada banyak pengakuan korban dengan pelaku yang sama.

Walaupun Marsedez menyadari bahwa sangat sulit menjadi dan menggerakkan korban untuk berjuang saat itu, namun ketika saya berdiskusi dengan kawan-kawan di Savrinadeya Support-Group akhirnya menyadari bahwa perjuangan akan keadilan juga harus atas konsensual dan korban itu sendiri.

“Pengalaman melakukan pelaporan saat itu mengajari saya untuk lebih menghargai proses setiap orang,” ungkapnya.

Ruang aman adalah tujuan dari pada terbentuknya Savrinadeya Support-Group. Ruang aman bukanlah ruang tertutup dalam harfiah ruang dalam benda. Ruang aman berasal dari cara berpikir, bersikap, berpihak dan berperilaku yang tidak seksis, tidak diskriminatif dan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk memperjuangkan hidupnya.

“Ruang aman bagi seluruhnya!,” tutup Erik.

Untuk memaksimalkan pengaduan Savrinadeya Support-Group membuka pengaduan melalui Google Form yang bisa diakses di instagram mereka @savrinadeya_supportgroup dan via Whatsapp di 0813-4939-8831 dan mereka sangat menjamin semua data korban aman dan tidak akan disebarluaskan kemanapun.

Diketahui, hasil survei yang dilakukan UNFPA (United Nation Population Fund) bersama Komisi Nasional Perempuan, sepanjang tahun 2020 hingga 2021 ada sebanyak 91.6 persen dari 600 responden berusia 14-30 tahun pernah mengalami, menyaksikan secara langsung, atau mendengar setidaknya 1 jenis kekerasan seksual. Meskipun korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan, namun kita tidak dapat menafikan fakta bahwa kekerasan seksual juga dialami laki-laki. (*)
Editor: Rizki